;">
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Minggu, 30 Oktober 2016

filsafat alam

Filsafat alam (dari bahasa Latin philosophia naturalis) adalah istilah yang melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam semisal fisika.
Bentuk-bentuk ilmu pengetahuan per sejarahnya berkembang di luar filsafat, atau lebih khususnya filsafat alam. Di universitas-universitas yang lebih tua, Kursi-Kursi Filsafat Alam yang sudah mapan kini sebagian besar dikuasai oleh para guru besar fisika. Catatan modern ilmu pengetahuan dan ilmuwan merujuk pada abad ke-19 (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary menuliskan bahwa asal mula kata "ilmuwan" adalah dari tahun 1834). Sebelumnya, kata "ilmu pengetahuan" sekadar berarti pengetahuan dan gelar ilmuwan belumlah wujud. Karya ilmiah Isaac Newton dari tahun 1687 dikenal sebagai Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica.

Peta benda-benda langit dari abad ke-17, karya kartografer Belanda, Frederik De Wit.
Berkas:Planisphæri cœleste.jpg

Senin, 24 Oktober 2016

FILSAFAT AGAMA

Agama dan Filsafat

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.
filsafat dan agama
Apakah betul bahwa filsafat sangat bertentangan dengan agama?
Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang sebenarnya kafir.
Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.
Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan merenungkannya sebagai petunjuk ‘dalil’ adanya sang pencipta dari satu sisi dan syari’ah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang dianjurkan oleh syari’ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari’ah.
Penekanan al’quran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : “Fa’tabiru ya uli al abshar” (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan (visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk  menggunakan akal, atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum (syari’at).
Demikian juga surat 185 ayat 7 yang mengatakan :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”.
Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka sesungguhnya syari’at telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.
Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.
Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat “fa’tabiru ya uli al abshar”, maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.
Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah bid’ah, Ibn Rusyd mengatakan, “anggaplah filsafat itu bid’ah karena tidak terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul al-fiqh) yang tercipta juga setelah periode salaf.
Bagaimana mungkin jika yang satu dikatakan tidak bid’ah tetapi yang lainnya dikatakan bid’ah padahal keduanya membicarakan penalaran hukum dan penalaran rasional yang sama-sama diciptakan setelah periode salaf.
Disadur sepenuhnya dari  http://www.parapemikir.com

definisi filsafat Islam

DEFINISI FILSAFAT ISLAM
a. Secara etimologis filsafat berasl dari bahsa Arab yaitu falsafah.Kata falsafah inipun berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata philosophia.Philos berarti cinta, suka.Sophia berarti pengetahuan, ilmu, kebijaksanaan.JadiPhilosophia berarti cinta pengetahuan atau cinta pada kebijaksanaan.
b. Dilihat dari segi praktis filsafat berarti alam berpikir atu alam pikiran. Filsafat adalah suatu ilmu yang merupakan hasil akl manusia yang memikirkan dan mencari hakikat kebenaran segala sesuatu.
c. Menurut Al-Farbi (wafat 350 M),filasafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
d. Prof. Dr. Fuad Hasan (guru besar Psikologi UI) menyilmpulkan bahwa Filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal.
e. Menurut H. Hasbulah Bakri, Filsafat adalah Ilmu yang mempelajari,menyelidiki dan mencoba menjawab masalah-masa;ah yang tidak dapat di jawab oleh ilmu pengetahuan biasa karena masalah tersebut berad diluar jangkauan ilmu pengetahuan biasa
f. Plato (427 SM-347 SM),filsuf Yunani murid Socrates dan guru Aristoteles. Ia mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran asli).
g. Aristoteles (382Sm-322 Sm) :Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didakamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (menyelidiki segala asas dan sebab segala benda.
Definisi-definisi tersebut merupakan definisi filsafat secara umum. Adapun definisi filsafat Islam lebih terfokus pada apakh filsafat Islam itu bisa di sebut sebagai filsafat Arab atau tidak.berikut ini adalah beberapa definsis filsafat Islam.
a. Mnurut Mustofa Abdul Razik, Filsafat Islam adlah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan dibawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa pemilknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menulis kitan-kitab filsafat yang bersifat kritis itu henndaknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
b. Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan :Filsafat Arab bukanlah produk suatu umat atu ras.Dia mengatakan, Fisafat Islam mencakup segala studi filsofis yang ditulis di bumi Islam baik itu hasil karya orang Yahudi atau Nasrani.
c. Dr. Sidi Gazalba mendefinisikan filsafat Islam sebagai hasil pikiran manusi yang digerakkan oleh naqli (al-quran dan Sunnah). Disebuit jug sebagai ilmu untuk membuktikan kebenaran whyu dan sunnah yang memberikan keteranagn, ulasan tafsiran denagn pemikaran budi yang mempunya sistem, radikal, dan global (umum).
d. Menurut Fuad Al-Akhwani, Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.
Adapun definisi filsafat menurt tokoh filsafat pada awal masuknya filsafat ke dalam ranah berfikir orang islam adalah sebagai berikut :
a. Al-Kindi
Al-Kindi mendefinisikan filsafat dari berbagai sudut pandang,namun Ia lebih menspesifikasikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan besifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupu kausa-kausanya.Defiisi ini di ambil dari sudut pandang materinya.
b. Al-Farabi
Al-Farabi mendefinisikn filsafat sebagai : Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat,yaitu suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnay dari segala yang ada ini.
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. 
Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran.
c. Ikhwan Al-Shafa’
Ikhwan Al-Shafa’ adalah golongan dalam filsafat yang menyatakan filsafat itu bertingkat-tingkat,yaitu :
1. Cinta ilmu
2. mengetahui hkikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia
3. berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.
d. Ibnu Rusyd
Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal.
e. Ibu Maskawih
Maskawih membedakan antar pengertian hikmah dan filsafat. Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membedakan mana yang bak dan man yang buruk.
Mengenai filsafat Ia tidak memberikan pengertian secara tegas.Ia membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu teoritis dan praktis. Teoritis merupakan kesmpurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikrannya benar. Sedangkan bagia praktis merupakan kesempurnan manusia yang mengisi potensinya untk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
f. Suhrowardi Al-Maqtul
Pandangan Suhrowardi terhadap metafisika dan cahaya pada dasarnya tetap bersifat immaterial. Entitas yang pertama yang diciptakan Tuhan adalah akalpertama, kemudian melalui proses emanasi timbul akal kedua dan seterusnya.
g. Ibnu Sina
Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu:
a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. 
b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril.
h. Al-Ghazali
Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci ma¡¦rifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini.
i. Ibnu Thufail
Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma’rifat melalui akal ditempuh dengan jalam keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma’rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma’rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.
j. Ibnu ‘Arabi
Filsafat Ibn ‘Arabi tentang wujud (realitas) Tuhan, alam semesta, dan manusia. 
-Pengertian Wahdat al wujud. Terdiri dari dua kata, yaitu: wahdat (sendiri, tunggal,kesatuan) sedangkan wujud (ada). Dengan demikian Wahdat al wujud berarti kesatuan wujud.
– Kata al wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan format (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
k. Mulla Shadra
Ia mendefinisikn filsafat dalam dua bagian utama.yang pertma adalah bagian teoritis yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaiman adanya, dan yang kedua yaitu bagian praktis yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempyrnan yang cocok bagi jiwa.
l. Muhammad Iqbal
– Agama ialah suatu konsep dari suatu pengalaman yang kompleks, sebagian bersifat rasional, etik, dan sebagian lagi bersifat spiritual.
– Agama bukan semata-semata hanya pikiran atau cuma perasaan juga bukan sekedar tindakan tetapi merupakan ekspresi manusia secara keseluruhan, karenanya agama tak bertentangan dengan filsafat, bahkan merupakan suatu segi yang penting dari pengalama total, tentang realitas yang harus dirumuskan oleh filsafat.
SEJARAH SINGKAT TIMBULNYA FILSAFAT ISLAM
Sejarah filsafat bermula di pesisir Samudra Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 SM. Sejak semula filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan. Itulah sebanya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika dan metafisika yang menjadi batu bata kebudayaan dunia.
Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam.
Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok persoalan yang bermuara pada sumber-sumber Wahyu Islam. Semua filosof muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Mulla Sadra,Suhrawardi dan lain sebagainya hidup dan bernafas dalam realitas al Quran dan Sunnah. Kehadiran al Quran dan Sunnah telah mengubah polaberfilsafat dalam konteks Dunia Islam. Realitas dan proses penyampaian al Quran merupakan perhatian utama para pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsafat.

FILSAFAT AGAMA

Filsafat Agama

Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang yang cenderung berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama  secara mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan filsafat  itu.

A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu ber-awal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri ter-tentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan  yang telah diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.[1] Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.[2] Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain. 
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution  kedua  kata tersebut  setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani  philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitufalsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah  atau filsaf.[4]
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada  hanya adalah kata hikmah.  Pada umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksa-naan,[5] sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[6] Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.[7] Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan darilove of wisdom.[8] 
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cu-kup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan  pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu.[9]Plato mengatakan filsafat ada-lah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.[10] Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.[11]
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12] R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.[13]
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.[14]   
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[15] Jujun  S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manu-sia.[16] Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[17]
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.[18]  Titus mem-berikan difinisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka.[19]Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatis-me dan sebagainya.[20]
Kattsoff mengemukakan  filsafat, ialah ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas  yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[21] Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.[22]
Selain itu Liang Gie mengemukan  metode yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis itu meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.[23]         
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial,  politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat agama.    

B. Pengertian Agama

Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia.[24]  Ter-nyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.[25] Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religiberasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia.[26] Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi  mengandung makna berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.[27] Yang kudus dipercayai  mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.[28]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati  sebagai  kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu  manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.     
Selain itu dalam al-Quran  terdapat kata din  yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan katadain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti  hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena  pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.[29] Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan[30]dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun  banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada  orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini. [31]
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[32] Karena dalam definisi yang dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[33]
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diredai Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.[34]
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[35]      
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk  agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan  gaib  yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada  suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbu-atan-perbuatan  manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang  Rasul.
Definisi yang dikemukakan Harun Nasution dapat disederhanakan menjadi dua definisi saja. Dari nomor 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa agama berkaitan dengan keterikatan manusia dengan kekuatan gaib yang lebih ting-gi dari manusia yang mendorong manusia untuk berbuat baik, bisa yang berkekuatan gaib itu dewa-dewa, atau roh-roh yang dipercayai mempunyai kekuasaan luar biasa melebihi dari dirinya, sekalipun pada hakikatnya yang dipercayai itu adalah benda mati seperti berhala dalam zaman Jahiliah. Adapun definisi nomor 8 terfokus kepada agama wahyu yang diturunkan melalui nabi-nabi. Jika disimpulkan, definisi-definisi agama itu menunjuk kepada kuatan gaib yang ditakuti, disegani oleh manusia, baik oleh kekuasaan maupun karena sikap pemarah dari yang gaib itu.
Dari delapan difinisi di atas dapat diklasifikasikan bahwa terdapat empat hal penting dalam setiap agama, yaitu :
Pertama, kekuatan gaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan gaib itu sebagai tempat minta tolong. Oleh sebab itu, manusia merasa harus mengadakan hubungan baik dengan kekuatan gaib tersebut. Hubungan baik itu dapat diwujudkan dengan mematuhi perintah dan larangan kekuatan gaib itu.
Kedua keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia ini dan hidup akhirat tergantung pada adanya hu-bungan baik dengan kekuatan gaib itu. Dengan hilangnya hubungan baik itu, kesejahteraan dan kebahagiaan, yang dicari akan hilang pula.
Ketiga respon yang bersifat emosionil dari manusia. Res-pon itu bisa berupa rasa takut seperti yang terdapat dalam agama-agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat dalam agama-agama monoteisme. Selanjutnya respon mengambil bentuk penyembahan yang terdapat di dalam agama primitif, atau pemujkaan yang terdapat dalam agama menoteisme. Lebih lanjut lagi respon itu mengambil bentuk cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.
Keempat paham adanya yang kudus (sacred) dan suci dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab yang mengandung ajaran-ajaran agama itu dan dalam bentuk tempat-tempat tertentu.[36]
Setelah diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa sebenarnya pengertian filsafat agama. Harun Nasution mengemukakan bahwa filsafat agama adalah berfikir tentang dasar-dasar agama menurut logika yang bebas. Pemikiran ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis tanpa terikat kepada ajaran agama, dan tanpa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama. Kedua membahas dasar-dasar agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran suatu ajaran agama atau sekurang-kurangnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidaklah mustahil dan tidak bertentangan dengan logika.[37]Dasar-dasar agama yang dibahas antara lain  pengiriman rasul, ketuhanan, roh manusia, keabadian hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, soal kejahatan, dan hidup sesudah mati dan lain-lain. Oleh sebab itu pengertian filsafat agama adalah berfikir secara kritis dan analitis menurut aturan logika tentang  agama secara mendalam sampai kepada setiap dasar-dasar agama itu..  

C. Agama Sebagai Objek Filsafat
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa agama dan filsafat adalah dua pokok persoalan yang berbeda. Agama banyak berbicara tentang hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa. Dalam agama samawi (Yahudi, Nas-rani dan Islam), Yang Kuasa itu disebut Tuhan atau Allah, sedangkan dalam agama ardi Yang Kuasa itu mempunyai sebutan yang bermacam-macam, antara lain Brahma, Wisnu dan Siwa dalam agama Hindu, Budha Gautama dalam agama Budha, dan sebagainya. Semua itu merupa-kan bagian dari ajaran agama dan setiap ajaran  agama itulah yang menjadi  objek pembahasan filsafat agama. Filsafat seperti yang dikemukakan bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Kata objek dalam bahasa Indonesia sering diartikan dengan sasaran atau sesuatu yang menjadi pelengkap dari suatu aktivitas. Apa saja yang menjadi sasaran dalam suatu aktivitas berarti hal itu menjadi objek dari aktivitas ter-sebut. Jika seorang peneliti  melakukan penelitian tentang pola hidup masyarakat nelayan di A maka  semua pola hidup dan tingkah laku masyarakat nelayan tersebut  adalah menjadi objek penelitian. Dengan kata lain setiap nelayan yang ada di lokasi penelitian yang dilakukan itu jelas menjadi objek dari penelitian tersebut.
Isi filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan fil-safat itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan.[38]
Aristoteles mengemukakan bahwa objek filsafat ada-lah fisika, metafisika, etika, politik, biologi, bahasa.[39] Al-Kindi mengemukakan bahwa objek filsafat itu adalah fisika, matematika dan ilmu ketuhanan.[40] Menurut al-Farabi, objek filsafat adalah semua yang maujud.[41] Selain yang dikemukakan oleh para filosof di atas, menambahkan bahwa kepercayaan itu termasuk objek pembicaraan filsafat.[42]
Semua sasaran pembahasan di atas merupakan mate-ri pembahasan filsafat. Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan demi-kian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah memi-sahkan diri dari filsafat. 
Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain.[43] Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 
Selain objek materia itu terdapat pula objek forma filsafat yaitu cara pandang yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui hakikatnya. Dengan demikian,  agama sebagai objek forma filsafat adalah cara pandang yang radikal tentang agama dan ber-bagai persoalan yang terdapat dalam agama itu. Dengan kata lain objek forma filsafat adalah pembahasan yang mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di dunia ini. Seperti diung-kapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen yang memban-tah, melemahkan  bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang akan dibahas dalam filsafat agama.
Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang   berubah keya-kinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepuas-an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula. Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini.[44] Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami kekosong-an dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang penga-laman orang yang beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.
Tidaklah terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat agama tidak menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan filsafat agama bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip logika.[45]
Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis. Persoalan eskato-logis pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal yang akan dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan, penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan eskatologis sebagai objek pemba-hasan  filsafat agama karena eskatologislah yang mendo-rong  orang bersemangat orang untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik. Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada kepada agama.
Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan agama secara tuntas. Pemba-hasan filsafat agama hanya bertujuan untuk mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka kemukakan dan memberikan penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya.       
Pernyataan ini menunjukkan bahwa objek filsafat bukanlah hal-hal yang empiris, bukan seperti penyelidikan sain yang keingingtahuannya hanya pada batas yang dapat diteliti secara empiris. Dalam istilah lain, batas penelitian dalam ilmu pengetahuan adalah pada daerah yang dapat diriset, sedangkan objek filsafat adalah hal-hal yang dapat dipikirkan secara logis. Sain meneliti dengan riset, sedang-kan filsafat meneliti dangan memikirkannya.[46]    
Selain itu filsafat merupakan analisa logis dari segi bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Di sini yang dilihat adalah maksud dari suatu istilah, seperti agama itu maksudnya apa. Sudah logiskah sesuatu yang dinyatakan dalam agama itu. Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli filsafat, yang dimaksud dengan filsafat di sini adalah berfikir menurut tata-tertib logika dengan bebas (tidak terikat pada suatu tradisi, dogma, serta agama) dan dengan sedalam-dalamnya se-hingga sampai kepada dasar-dasar persoalan. Yang utama dalam tulisan ini adalah analisis kritis dan logis terhadap setiap persoalan agama. Sehubungan dengan itu, apa sebenarnya yang menjadi objek pembahasan filsafat, apakah segala sesuatu tanpa kecuali dapat menjadi objek pembicaraan filsafat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa objek pembicaraan filsafat itu banyak sekali, yaitu segala yang ada. Agama ternyata merupakan salah satu  objek pembicaraan filsafat.

D. Perbadingan Agama dan Filsafat
Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menye-lidiki bidang itu sendiri.[47] Filsafat adalah berfikir, sedang-kan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hu-bungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengeta-huan untuk beribadah atau mengabdi.[48] Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan. [49]
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.[50]  
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan  filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti  yang kuat dan kemudian  timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu).[51]  Dalam pendapat  Mahmud Subhi , agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan ber-awal dari argumen.     
Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bah-wa agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya.[52] Seorang penganut agama biasa-nya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebalik-nya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru.[53] Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen-argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut walaupun untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu. 
Di sisi lain Harun Nasution membandingkan pemba-hasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersen-diri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu.[54] Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan meminta bukti dari paham atau agamanya itu.  
Seseorang memerlukan kepiawaian dalam menge-mukakan argumen, memahami teknik analisa serta menge-tahui sejumlah bahan pengetahuan untuk memikirkan se-gala sesuatu secara logis, termasuk setiap problem kehi-dupan yang ada hubungannya dengan hal itu.[55] Melihat sesuatu itu memerlukan pemikiran luas, dan jauh dari emosi. Tetapi harus disadari bahwa agama pada satu sisi memang ditandai dengan unsur-unsur yang bersifat memi-hak kepada keyakinannya sendiri. Tanpa ada sifat memi-hak, agama kadang-kadang kurang terasa maknanya.
Dengan demikian, seorang ahli agama bisa menyeli-diki ajaran agamanya sendiri, demikian juga agama lain, tetapi dia harus menyadari posisinya pada waktu meneliti agama untuk menghindari banyaknya unsur subjektif yang sering muncul dalam pekiran ahli agama itu.


[1]Kegiatan berfikir radikal dan mendalam telah dimulai oleh Thales. Filosof alam pertama ini telah berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam dengan melihat asal kejadian sesuatu. Kegiatan ini  diiringi oleh filosof  lain sampai kepada filosof di zaman moderen, yang menggunakan prinsip sama yaitu pembahasan radikal..
[2]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994, hlm. 8.
[3]H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986, hlm. 9.
[4]Ibid.
[5]Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 7.
[6]Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983, hl 9.
[7]Lihat al-Quran Surat al-Baqarah, 123, 151, 231, 251.
[8]Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  8.
[9]Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama,  Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991, hlm. 3.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid. 
[13]Gerard Beekman, Filsafat para Foloosf Berfilsafat, diterjemahkan  oleh R. A. Rifai  dari Filosofie, Filosofen, dan Filosoferen, Jakarta : Erlangga, 1984, hlm. 14.
[14]Ibid., hlm.  15.
[15]Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  9.
[16]Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995, hlm. 25.
[17]Ibid.
[18] Ibid.
[19]Titus (dkk.), Living Issues in Philosophy, (New York: De Vand Nostrand Company, hlm.7.
[20]Dardiri, op. cit., hlm.  10-11.
[21]Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 67.
[22]Ibid., hlm.  68.
[23]Dardiri, op. cit., hlm.  12.
[24]Harun Nasution,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya,  Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979, cet. ke-1,    hlm. 9.
[25]Dick Hartoko,  op. cit. ,hlm. 90.
[26]Nasution, Islam ditinjau, hlm. 10.
[27]Sidi Gazalba,  Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 100.
[28]Ibid., hlm.  101.
[29]Amsal, op. cit., hlm.  11.
[30]Ibid., hlm. 9.   
[31]Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  7.
[32]Sidi Gazalba, op. cit.,  hlm.  103.
[33]Ibid.
[34]Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985,  hlm. 8.
[35]Sidi Gazalba, op. cit., hlm.  103.
[36]Harun Nasution, Islam Ditinjau, hlm. 11.
[37]Nasution, op. cit., hlm. 10.  
[38]Dardiri, op. cit., hlm.  13.
[39]Ibid., hlm. 65.
[40]M.M. Syarif,  A History of Muslim Philosophy  Otto Horrassowitz, Wiesbaden, 1963, hlm. 424.
[41]Ibid., hlm. 456.
[42]Ibid., hlm. 66.
[43] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm.  19.
[44] Ayah Nietzsche adalah seorang pendeta di Lutheran dan kakeknya adalah seorang guru besar dalam bidang teologi. Setelah menganalisa kepercayaan agama Nasrani yang dianut orang tuanya ia menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Moderen, Jakarta : Gramedia, 1990, hlm. 79 dan 81.
[45]Harun Nasution, Filsafat Agama, hlm. 10.
[46]Contoh dari perbedaan ojek filsafat dan objek sain antara lain adalah hujan. Apa itu hujan ? Mata melihat hujan, demikian penjelasan Ahmad Tafsir, adalah air yang turun dari langit. Kenapa air turun dari langit ? Kata ilmuan hujan itu adalah air yang menguap berkumpul di atas, lalu turun, itulah hujan. Mengapa air laut, air danau, air sumur dan sebagainya menguap ? Menurut sain itu disebabkan pemanasan. Kenapa di Indonesia banyak hujan, di Arab Saudi tidak ? Karena di Indonesia banyak gunung, sedangkan di Arab Saudi sedikit gunung. Semua itu adalah jawaban sain. Selanjutnya pertanyaan muncul, kenapa di Indonesia banyak gunung dan Arab Saudi sedikit gunung ? Sain tidak dapat menjawab lagi. Filosof mencoba menjawab, adalah karena kebetulan. Apa itu kebetulan ? Kebetulan adalah salah satu bentuk hukum alam. Apa itu hukum alam ? Hukum alam adalah hukum kehendak alam menurut sebagian orang dan kehendak Tuhan menurut sebagian lagi. Dari kata kebetulan sampai kepada kehendak Tuhan adalah jawaban filsafat, karena jawaban tersebut hanya berdasarkan pikiran logis tanpa didukung oleh fakta empiris. Ibid. Perlu diketahui bahwa jawaban filsafat itu tidak terfokus kepada satu bidang pembahasan, melainkan tertuju kepada berbagai jawaban yang pada pokoknya mencari dasar segala sesuatu.  
[47]Rasyidi, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1965, hlm. 3.
[48]Dilihat dari segi pengabdian itu, paham materialisme dialektik diangap sebagai suatu agama juga karena para pengikutnya merasa berkewajiban mengabdikan diri untuk menyebarkan pahamnya itu. Pengabdian para pengikut paham ini bukan untuk Tuhan, tetapi untuk proses sejarah paham itu sendiri. Ibid., hlm. 3-4.
[49]Ibid.
[50]Ibid.
[51]Ahmad Mahmud Subhi, Fi `Ilm al-Kalam, Dirasat Falsafiyyah. Dar al-Kutub al-Jami`iyyah, 1969, hlm. 4.
[52]Rasyidi, op. cit., hlm. 4.
[53]Ibid.
[54]Nasution, op. cit., hlm. 11.
[55]Ibid., hlm. 11.