;">
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Selasa, 11 Oktober 2016

HUBUNGAN AGAMA, FILSAFAT, DAN SAINS


ANALISIS
HUBUNGAN AGAMA, FILSAFAT, DAN SAINS
2.1 Pengertian Agama
Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.

Sedangkan kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadah-ibadah. [1]
            Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “a” dan “gama”. A berarti ‘tidak’ dan gama berarti ‘kacau’. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan benar.
            Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhoan Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang memilki segala yang, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya.[2]
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, akidah, din(ul) ajaran atau kepecayaan yang mempercayai suatu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.
Agama pada umumnya merupakan (1) satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (2) satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan. [3]
2.2 Pengertian Filsafat
Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.
Menurut Aristoteles mengatakan Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didalammya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asal segala benda).
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu.[4]
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya. Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikir filsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan.
Dalam menghadapi berbagai masalah hidup di dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang manakah yang dapat masuk dalam bidang filsafat ini? Jawabannya adalah pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah. Jadi, pikiran itu adalah yang mempunyai kerangka ilmiah-filsafat. Menurut Prof. Mulder bahwa filsafat itu berpikir ilmiah, tapi tidak setiap berpikir itu filsafat.[5]
Apakah filsafat itu sebagai ilmu pengetahuan dan bagaimana bentuk dan sifatnya bisa dipahami menurut penjelasan berikut: kebenaran filsafat itu dapat diukur menurut kondisi yang pasti dimiliki oleh ilmu pengetahuan pada umumya, yang meliputi obyek (sasaran studi), metode (cara atau jalannya studi), sistem (cara-cara kerja sebagai penunjang jalannya metode) dan kebenaran ilmiah (obyektif dan dapat diukur baik secara rasional maupun empiris). [6]
2.3 Pengertian Ilmu dan Sains (Ilmu Pengetahuan)
Kata ilmu berasal dari bahasa arab (alima) dan berarti pengetahuan. Pemakain kata itu dalam bahasa Indonesia kita ekuivalenkan denagn istilah science. Science berasal dari bahasa latin: scio, scire yang juga berarti pengetahuan. Ilmu haruslah sistematis dan berdasar metodologi dan ia berusaha mencapai generalisasi.
Definisi ilmu Arthur Thomson. Athur Thomson mendefinisikan ilmu itu “pelukisan fakta-fakta pengalaman secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah sesederhana mungkin”.[7]
Ilmu menggali pengetahuan dari fakta-fakta dan merumuskan pengetahuan itu dalam bentuk teori atau hukum. Karena pengetahun itu sesuai dengan faktanya, maka pengetahuan yang digali dan yang dinyatakannya itu adalah benar.
Ilmu = kerja sama otak-tangan. Jelaslah betapa inherennya (berhubungan ketat) ilmu dengan fakta, yaitu fakta yang dialami. Fakta yang belum ditafsirkan jadi bersifat murni, disebut data. Data inilah yang dihimpun oleh riset dan atau data eksperimen. Sedangkan pelukisan, penjelasannya, dan kesimpulannya jadi tugas pikiran. Riset dan eksperimen adalah kerja tangan. Berpikir adalah kerja otak, karena itu ilmu merupakan hasil kerja sama otak dan tangan. Pengetahuan, hasil dari kerja panca indra, sedangkan filsafat hasil dari kerja berfikir saja.[8]
Jadi, ilmu dapat disebut ilmu pengetahuan. Padahal sesungguhnya ada perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah, dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahun adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi, dan sebagainya. Jadi pengetahuan mempunyai cakupan lebih luas daripada ilmu. Namun, dalam tulisan ini sengaja disebut dengan menggabungkan keduanya, yaitu ilmu pengetahuan. Karena keduanya sama-sama penting dalam kehidupan dan tidak boleh dipisahkan.[9]
Sains adalah Ilmu pengetahuan dipakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan sistematik dan objektif serta dapat diteliti kebenarannya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seseorang kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Adapun beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
1. Pengetahuan biasa atau common sense.
2. Pengetahuan ilmu atau science
3. Pengetahuan filsafat
4. Pengetahuan religi
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.
2,4 Pengertian Opini
Opini (Inggris: Opinion) adalah pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak objektif karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan sebuah pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan dan kebenaran atau kesalahannya serta tidak dapat langsung ditentukan.
Opini bukanlah merupakan sebuah fakta, akan tetapi jika di kemudian hari dapat dibuktikan atau diverifikasi, maka opini akan berubah menjadi sebuah kenyataan atau fakta. [10]
2.5 Perbedaan Filsafat dan Agama
Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi, mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan Tuhan.
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan kemudian timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu). Dalam pendapat Mahmud Subhi , agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari keyakinan, bukan berawal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bahwa agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama biasanya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan diri kepada agamanya itu. Sebaliknya seorang ahli filsafat sering bersifat lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru. Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen-argumen yang mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut walaupun untuk argumen dia sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan seperti itu.
Di sisi lain dibandingkan pembahasan filsafat agama dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.[11]
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat sepihak. Pendirian yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang penganut suatu agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan meminta bukti dari paham atau agamanya itu.
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan.
2.6 Perbandingan Filsafat dan Sains
Pengetahuan, hasil dari kerja panca indra, sedangkan filsafat hasil dari kerja berfikir saja.[12]
Menurut Louis Kattsoff mengatakan bahwa bahasa yang dipakai dalam filsafat & ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling melengkapi. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif, dan faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat. Sementara itu, ilmu pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat dengan menghilangkan ide-ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Pertentangan ilmu dan filsafat pada umumnya menunjukkan pada kecondongan atau titik penekanan, dan bukan pada penekanan yang mutlak. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif. Filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan penelitian, selama objeknya sudah dapat diindera, dianalisis dan dieksperimen, maka berhentilah ilmu sampai disitu. Sedangkan filsafat justru mulai bekerja ketika ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu subjek.
Adapun bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain diantaranya:
1.      Filsafat menyelidiki, serta memikirkan seluruh alam kenyataan & menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain.
2.      Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab akibat tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus.
3.      Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya & hendak kemana perginya.
2.7 Hubungan antara Filsafat, Ilmu dan Agama
“Saya berpendapat bahwa semua spekulasi yang benar dalam dunia sains bersumber dari rasa relegius yang dalam, dan tanpa perasaan tersebut spekulasi itu tidak akan menghasilkan apa-apa” Albert Einstein.
Ada beberapa tesis yang menyatakan bahwa sains bertentangan dengan agama dan tidak mungkin disatukan. Namun, Einstein tidak pernah menganggap hubungan antara sains dan agama sebagai sebuah antitheis. Sebaliknya ia memandang sains dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi atau saling bergantung satu sama lain. Sebuah hubungan sebagaimana yang tergambar dalam metaforanya: “Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta”.[13]
Filsafat, ilmu dan agama mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia dikatakan terkait karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga alat dan tenaga dan utama pada manusia yaitu akal, rasa, dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.
Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat akal pikiran manusia. Juga agama dapat berkembang berkat adanya keyakinan. Dikatakan reflektif karena ilmu, filsafat dan agama baru dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan manusia apabila ketiganya telah tercermin dalam diri manusia itu sendiri.
Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat bersumber pada ra’yu (akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.
Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan eksplorasi akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya atau iman.
Adapun bila ditelaah secara terpisah antara filsafat, ilmu dan agama dapat diketahui bahwa filsafat yang mengedepankan eksplorasi logika yang radikal dan bebas ternyata tidak selamanya mampu memberikan solusi terbaik kepada manusia. Filsafat dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami kemajuan (passif). Filusuf hanya bisa berfikir tanpa bisa mengekspresikan hasil pemikirannya dalam bentuk yang lebih praktis. Inilah yang menghambat. Maka lahirlah Ilmu (sains) yang menjadi cabang atau pemekaran dari filsafat itu sendiri yang tidak hanya mengandalkan kekuatan logika semata, tetapi sudah berupaya menjabarkan dengan bukti-bukti empiris dan rasional melalui riset-riset atau uji coba yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun lagi-lagi hal itu tidak cukup untuk menjawab dan menyelesaikan problematika kehidupan karena sering dijumpai teori (ilmu) yang tidak sesuai dengan realita, begitu pula sebaliknya, realita tidak selamanya harus dibarengi dengan teori. Oleh karena itu manusia terus mencari solusi guna menjawab tantangan-tantangan tersebut, yaitu dengan agama.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan sains (ilmu).
Juga sains, ia lahir dari kekaguman para filusuf yang berusaha mencari kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains melengkapinya dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah berusaha bangkit dari kemandegan yang selama ini menjadi predikat tetap filsafat. Sains sudah mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya dengan berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat tenang dan bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.
Dalam sains juga terdapat banyak perbedaan yang mengemuka, salah satunya adalah perbedaan Newton dan Einstein dalam empat komponen analitis yaitu zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Natural Prinsipia mathematica (1686) menganggap empat komponen itu sebagai sesuatu yang absolut. hal itu ditentang oleh Enstein dalam bukunya The Special Theory of Relativity (1905) bahwa keempat komponen tersebut adalah relatif karena tidak mungkin bisa mengukur sesuatu dengan sesuatu yang absolut. Perbedaan ini menimbulkan berbagai macam keraguan di kalangan masyarakat umum, yang bisa menjadikan kesimpangsiuran dalam mencari solusi problematika kehidupan.
Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral yang disebabkan ilmu dapat menjadikan manusia dalam masalah yang cukup besar
.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
            Sebagai pemilik kebenaran hakiki, agama menjadi alternatif terakhir dalam pumataakhiran suatu persoalan dalam ilmu dan filsafat. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa agama juga tidak akan terlepas dari filsafat dan ilmu. Jadi, hubungan antara agama, ilmu, dan filsafat memiliki sisi saling keterkaitan, saling mendukung dan saling menguatkan satu sama lain.
Bahkan, ilmu dan filsafat yang tanpa didasari agama, hanya akan memberikan kontribusi palsu dalam kehidupan. Seperti apa yang diungkapkan Abert Einstein “Saya berpendapat bahwa semua spekulasi yang benar dalam dunia sains bersumber dari rasa relegius yang dalam, dan tanpa perasaan tersebut spekulasi itu tidak akan menghasilkan apa-apa”.
Dengan beberapa kekurangan serta kelemahan filsafat dan ilmu, kita bisa menyempurnakannya dengan moral (agama) yang bisa menjadi mediator guna menyempurnakan kedua konsep tersebut untuk bisa diaktualisasikan dalam kehidupan duniawi yang praktis. Karena agama memiliki dua unsur yang menjadi ciri khas keduanya (filsafat dan ilmu). Agama tidak hanya bersifat dogmatis belaka namun juga bisa berlogika dan memberikan pembuktian-pembuktian yang empiris, riil, logis, sistematis. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang memang menjadi akhir dari filsafat dan ilmu dapat direalisasikan dengan konsep kebenaran hakiki yang dimiliki agama.
           
DAFTAR PUSTAKA
Goerge T.W. Patrick, Introduction to Philosophy, op. cit., p. 20. Dalam buku Sidi Gazalba. 1990Sistematika Filafat. Jakarta: PT Bulan Bintang..
Susanto. 2014. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
A.Enstein, “Science and Religion,” Alamat di Conference on Science, Philosophy, and Religion, New York, 1940; dicetak kembali dalam A.Enstein, Ideas an Opinions (Crown, New York, 1954, 1982),
Mustofa, A. Filsafat Islam. 2004. Bandung: Pustaka Setia,
Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Bahaf Zaenal muti’in, 2009. Filsafat umum, Serang: Keiysa press,
I.R. Poedjawijatna, 1987. Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara..
Jujun S. Sumiasumantri (ed) 1985. Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia,cet.6
Nasution, Harun. 2008. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Arthur Asa Berger. 1989. Political Culture and Public Opinion, Transaction Publishers, & Edward M. Meyers. 1996. Public Opinion and the Political Future of the Nation's Capital, Georgetown University Press.
Poerwantana, dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosda
17 February 2015, 12:21:47
17 February 2015, 12:21:28



Tidak ada komentar:

Posting Komentar