ANALISIS
HUBUNGAN AGAMA, FILSAFAT, DAN SAINS
2.1 Pengertian Agama
Kata religi berasal dari bahasa Latin
rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan
cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci
yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti
mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.
Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh agama.
Sedangkan kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ternyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadah-ibadah. [1]
Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama
berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “a” dan “gama”. A berarti ‘tidak’ dan
gama berarti ‘kacau’. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut,
hidup menjadi lurus dan benar.
Pengertian agama
menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk mencari keridhoan Tuhan.
Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa, yaitu Tuhan, zat yang
memilki segala yang, yang berkuasa, yang mengatur seluruh alam beserta isinya.[2]
Agama adalah keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan,
akidah, din(ul) ajaran atau kepecayaan yang mempercayai suatu atau beberapa
kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam, manusia dan jalan hidupnya.
Agama pada umumnya merupakan (1) satu sistem credo (tata keimanan atau tata
keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia; (2) satu sistem
ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu; (3) satu
sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan. [3]
2.2 Pengertian
Filsafat
Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral
hakikat sarwa yang ada: (a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c)
hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai konsekuensi daripada
faham (pemahamnnya) tersebut.
Menurut Aristoteles mengatakan Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang didalammya terkandung ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat
menyelidiki sebab dan asal segala benda).
Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Ilmu pengetahuan tentang hakikat yang menanyakan apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu.[4]
Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena
dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan
kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam
kehidupannya. Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik
yang menyertainya, pertama, adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan
tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi
melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat
mendasar, artinya bahwa seorang yang berfikir filsafat tidak sekedar melihat ke
atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara fundamental, dan ciri
ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita
perlu spekulasi. Dari serangkaian spekulasi
ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik
awal dari penjelajahan pengetahuan.
Dalam menghadapi berbagai masalah hidup di
dunia ini, manusia akan menampilkan berbagai alat untuk mengatasinya. Alat itu
adalah pikiran atau akal yang berfungsi di dalam pembahasannya secara filosofis
tentang masalah yang dihadapi. Pikiran yang manakah yang dapat masuk dalam
bidang filsafat ini? Jawabannya adalah pikiran yang senantiasa bersifat ilmiah.
Jadi, pikiran itu adalah yang mempunyai kerangka ilmiah-filsafat. Menurut Prof.
Mulder bahwa filsafat itu berpikir ilmiah, tapi tidak setiap berpikir itu
filsafat.[5]
Apakah filsafat itu sebagai ilmu
pengetahuan dan bagaimana bentuk dan sifatnya bisa dipahami menurut penjelasan
berikut: kebenaran filsafat itu dapat diukur menurut kondisi yang pasti
dimiliki oleh ilmu pengetahuan pada umumya, yang meliputi obyek (sasaran
studi), metode (cara atau jalannya studi), sistem (cara-cara kerja sebagai
penunjang jalannya metode) dan kebenaran ilmiah (obyektif dan dapat diukur baik
secara rasional maupun empiris). [6]
2.3 Pengertian Ilmu dan Sains (Ilmu Pengetahuan)
Kata ilmu berasal dari bahasa arab (alima) dan berarti pengetahuan.
Pemakain kata itu dalam bahasa Indonesia kita ekuivalenkan denagn istilah science.
Science berasal dari bahasa latin: scio, scire yang juga berarti
pengetahuan. Ilmu haruslah sistematis dan berdasar metodologi dan ia berusaha
mencapai generalisasi.
Definisi ilmu Arthur Thomson.
Athur Thomson mendefinisikan ilmu itu “pelukisan fakta-fakta pengalaman
secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah sesederhana mungkin”.[7]
Ilmu menggali pengetahuan dari fakta-fakta dan merumuskan
pengetahuan itu dalam bentuk teori atau hukum. Karena pengetahun
itu sesuai dengan faktanya, maka pengetahuan yang digali dan yang dinyatakannya
itu adalah benar.
Ilmu = kerja sama otak-tangan. Jelaslah
betapa inherennya (berhubungan ketat) ilmu dengan fakta, yaitu fakta yang
dialami. Fakta yang belum ditafsirkan jadi bersifat murni, disebut data. Data
inilah yang dihimpun oleh riset dan atau data eksperimen. Sedangkan pelukisan,
penjelasannya, dan kesimpulannya jadi tugas pikiran. Riset dan eksperimen
adalah kerja tangan. Berpikir adalah kerja otak, karena itu ilmu
merupakan hasil kerja sama otak dan tangan. Pengetahuan, hasil dari kerja panca
indra, sedangkan filsafat hasil dari kerja berfikir saja.[8]
Jadi, ilmu dapat disebut ilmu pengetahuan. Padahal sesungguhnya ada
perbedaan yang sangat prinsipil antara ilmu dan pengetahuan. Ilmu adalah
pengetahuan yang pasti, sistematis, metodik, ilmiah, dan mencakup kebenaran
umum mengenai objek studi. Sedangkan pengetahun adalah sesuatu yang menjelaskan
tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui
pengalaman (empiris), kesadaran (intuisi), informasi, dan sebagainya. Jadi
pengetahuan mempunyai cakupan lebih luas daripada ilmu. Namun, dalam tulisan
ini sengaja disebut dengan menggabungkan keduanya, yaitu ilmu pengetahuan.
Karena keduanya sama-sama penting dalam kehidupan dan tidak boleh dipisahkan.[9]
Sains adalah Ilmu pengetahuan dipakai sebagai kata
kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan sistematik dan
objektif serta dapat diteliti kebenarannya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seseorang
kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya
mendapatkan pengetahuan yang benar? “Mudah saja”, jawab filosof itu,
“Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia.
Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah
pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai
pengetahuan dan kebenaran.
Adapun beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
1. Pengetahuan biasa atau common sense.
2. Pengetahuan ilmu atau science
3. Pengetahuan filsafat
4. Pengetahuan religi
Adapun beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu:
1. Pengetahuan biasa atau common sense.
2. Pengetahuan ilmu atau science
3. Pengetahuan filsafat
4. Pengetahuan religi
Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian
sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika
mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang
hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.
2,4 Pengertian Opini
Opini (Inggris: Opinion) adalah
pendapat, ide atau pikiran untuk menjelaskan kecenderungan atau preferensi
tertentu terhadap perspektif dan ideologi akan tetapi bersifat tidak objektif
karena belum mendapatkan pemastian atau pengujian, dapat pula merupakan sebuah
pernyataan tentang sesuatu yang berlaku pada masa depan dan kebenaran atau
kesalahannya serta tidak dapat langsung ditentukan.
Opini bukanlah merupakan sebuah fakta, akan
tetapi jika di kemudian hari dapat dibuktikan atau diverifikasi, maka opini akan
berubah menjadi sebuah kenyataan atau fakta. [10]
2.5 Perbedaan Filsafat dan Agama
Dari uraian di atas diketahui bahwa antara agama dan
filsafat itu terdapat perbedaan. Menurut Prof. Dr. H. H. Rasyidi, perbedaan
antara filsafat dan agama bukan terletak pada bidangnya, tetapi terletak pada
cara menyelidiki bidang itu sendiri. Filsafat adalah berfikir, sedangkan agama
adalah mengabdikan diri, agama banyak hubungan dengan hati, sedangkan filsafat
banyak hubungan dengan pemikiran. Williem Temple, seperti yang dikutip Rasyidi,
mengatakan bahwa filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami, sedangkan agama
menuntut pengetahuan untuk beribadah atau mengabdi. Pokok agama bukan
pengetahuan tentang Tuhan, tetapi yang penting adalah hubungan manusia dengan
Tuhan.
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Lewis mengidentikkan agama dengan enjoyment dan filsafat dengan contemplation. Kedua istilah ini dapat dipahami dengan contoh: Seorang laki-laki mencintai perempuan, rasa cinta itu dinamai dengan enjoyment, sedangkan pemikiran tentang rasa cinta itu disebut contemplation.
Di sisi lain agama mulai dari keyakinan, sedangkan
filsafat mulai dari mempertanyakan sesuatu. Mahmud Subhi mengatakan bahwa agama
mulai dari keyakinan yang kemudian dilanjutkan dengan mencari argumentasi untuk
memperkuat keyakinan itu, (ya`taqidu summa yastadillu), sedangkan filsafat
berawal dari mencari-cari argumen dan bukti-bukti yang kuat dan kemudian
timbul-lah keyakinannya (yastadillu summa ya`taqidu). Dalam pendapat Mahmud
Subhi , agama di sini kelihatan identik dengan kalam, yaitu berawal dari
keyakinan, bukan berawal dari argumen.
Perbedaan lain antara agama dan filsafat adalah bahwa
agama banyak hubungannya dengan hati, sedangkan filsafat banyak hubungannya
dengan pikiran yang dingin dan tenang. Agama dapat diidentikkan dengan air yang
terjun dari bendungan dengan gemuruhnya, sedangkan filsafat diumpamakan dengan
air telaga yang jernih, tenang dan kelihatan dasarnya. Seorang penganut agama
biasanya selalu mempertahankan agama habis-habisan karena dia sudah mengikatkan
diri kepada agamanya itu. Sebaliknya seorang ahli filsafat sering bersifat
lunak dan sanggup meninggalkan pendiriannya jika ternyata pendapatnya keliru.
Dalam diri seorang ahli filsafat terdapat maksud meneliti argumen-argumen yang
mendukung pendapatnya dan kelemahan argumen tersebut walaupun untuk argumen dia
sendiri, sedangkan dalam diri penganut suatu agama tidak terdapat keinginan
seperti itu.
Di sisi lain dibandingkan pembahasan filsafat agama
dengan pembahasan teologi, karena setiap persoalan tersebut juga menjadi
pembahasan tersendiri dalam teologi. Jika dalam filsafat agama pembahasan
ditujukan kepada dasar setiap agama, pembahasan teologi ditujukan pada
dasar-dasar agama tertentu. Dengan demikian terdapatlah teologi Islam, teologi
Kristen, teologi Yahudi dan sebagainya.[11]
Pemikiran-pemikiran seperti itu kurang tepat karena
pandangan masing-masing penganut agama dan filosof bersifat sepihak. Pendirian
yang lebih baik dan lebih berfaedah adalah pendirian seorang penganut suatu
agama yang bersedia mendengarkan uraian tentang paham atau agama lain dan
meminta bukti dari paham atau agamanya itu.
Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama
menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat diukur dengan
tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah.
Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap
zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.
Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari
kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap keseluruhan wujud manusia
terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan
dan difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan.
2.6 Perbandingan
Filsafat dan Sains
Menurut Louis Kattsoff mengatakan bahwa bahasa yang
dipakai dalam filsafat & ilmu pengetahuan dalam beberapa hal saling
melengkapi. Filsafat dan ilmu pengetahuan kedua-duanya menggunakan metode
pemikiran reflektif dalam usaha untuk menghadapi fakta-fakta dunia dan
kehidupan. Ilmu membekali filsafat dengan bahan-bahan yang deskriptif, dan
faktual yang sangat penting untuk membangun filsafat. Sementara itu, ilmu
pengetahuan melakukan pengecekan terhadap filsafat dengan menghilangkan ide-ide
yang tidak sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
Pertentangan ilmu dan filsafat pada umumnya
menunjukkan pada kecondongan atau titik penekanan, dan bukan pada penekanan
yang mutlak. Ilmu lebih menekankan kebenaran yang bersifat logis dan objektif.
Filsafat bersifat radikal dan subjektif. Ilmu bisa berjalan mengadakan
penelitian, selama objeknya sudah dapat diindera, dianalisis dan dieksperimen,
maka berhentilah ilmu sampai disitu. Sedangkan filsafat justru mulai bekerja
ketika ilmu sudah tidak bisa berbicara apa-apa tentang suatu subjek.
Adapun bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain diantaranya:
Adapun bedanya filsafat dengan ilmu-ilmu lain diantaranya:
1.
Filsafat menyelidiki, serta memikirkan seluruh alam
kenyataan & menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain.
2.
Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab akibat
tetapi menyelidiki hakikatnya sekaligus.
3.
Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia
sebenarnya, dari mana asalnya & hendak kemana perginya.
2.7 Hubungan antara Filsafat,
Ilmu dan Agama
“Saya berpendapat bahwa semua spekulasi yang benar dalam dunia sains
bersumber dari rasa relegius yang dalam, dan tanpa perasaan tersebut spekulasi
itu tidak akan menghasilkan apa-apa” Albert Einstein.
Ada beberapa tesis yang menyatakan bahwa sains bertentangan dengan
agama dan tidak mungkin disatukan. Namun, Einstein tidak pernah menganggap
hubungan antara sains dan agama sebagai sebuah antitheis. Sebaliknya ia
memandang sains dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi atau saling
bergantung satu sama lain. Sebuah hubungan sebagaimana yang tergambar dalam
metaforanya: “Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta”.[13]
Filsafat, ilmu dan agama
mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia dikatakan terkait
karena ketiganya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada tiga
alat dan tenaga dan utama pada manusia yaitu akal, rasa, dan keyakinan. Sehingga dengan ketiga hal tersebut manusia dapat mencapai
kebahagiaan bagi dirinya.
Ilmu dan filsafat dapat bergerak dan berkembang berkat
akal pikiran manusia. Juga agama dapat berkembang berkat adanya keyakinan.
Dikatakan reflektif karena ilmu, filsafat dan agama baru dapat dirasakan
manfaatnya dalam kehidupan manusia apabila ketiganya telah tercermin dalam diri
manusia itu sendiri.
Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan
sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Namun titik
perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat bersumber pada ra’yu
(akal, budi, rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan
agama bersumberkan wahyu.
Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan
jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman (empiris) dan percobaan
(eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan eksplorasi
akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun,
kecuali oleh ikatan tangannya sendiri bernama logika. Manusia mencari dan
menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan pelbagai
masalah asasi dari atau kepada kitab suci.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif
(berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat adalah kebenaran
spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, riset dan
eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya
nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena
agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai
dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya atau iman.
Adapun bila ditelaah secara terpisah antara filsafat,
ilmu dan agama dapat diketahui bahwa filsafat yang mengedepankan eksplorasi
logika yang radikal dan bebas ternyata tidak selamanya mampu memberikan solusi
terbaik kepada manusia. Filsafat dari waktu ke waktu tidak pernah mengalami kemajuan
(passif). Filusuf hanya bisa berfikir tanpa bisa mengekspresikan hasil
pemikirannya dalam bentuk yang lebih praktis. Inilah yang menghambat. Maka
lahirlah Ilmu (sains) yang menjadi cabang atau pemekaran dari filsafat itu
sendiri yang tidak hanya mengandalkan kekuatan logika semata, tetapi sudah
berupaya menjabarkan dengan bukti-bukti empiris dan rasional melalui
riset-riset atau uji coba yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun
lagi-lagi hal itu tidak cukup untuk menjawab dan menyelesaikan problematika
kehidupan karena sering dijumpai teori (ilmu) yang tidak sesuai dengan realita,
begitu pula sebaliknya, realita tidak selamanya harus dibarengi dengan teori.
Oleh karena itu manusia terus mencari solusi guna menjawab tantangan-tantangan
tersebut, yaitu dengan agama.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan
manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan
lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal manusia
dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu
perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan
dalam filsafat dan sains (ilmu).
Juga sains, ia lahir dari kekaguman para filusuf yang
berusaha mencari kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains melengkapinya
dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah berusaha
bangkit dari kemandegan yang selama ini menjadi predikat tetap filsafat. Sains
sudah mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya
dengan berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat
tenang dan bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.
Dalam sains juga terdapat banyak perbedaan yang
mengemuka, salah satunya adalah perbedaan Newton dan Einstein dalam empat
komponen analitis yaitu zat, gerak, ruang, dan waktu. Newton dalam bukunya
Philosophiae Natural Prinsipia mathematica (1686) menganggap empat komponen itu
sebagai sesuatu yang absolut. hal itu ditentang oleh Enstein dalam bukunya The
Special Theory of Relativity (1905) bahwa keempat komponen tersebut adalah
relatif karena tidak mungkin bisa mengukur sesuatu dengan sesuatu yang absolut.
Perbedaan ini menimbulkan berbagai macam keraguan di kalangan masyarakat umum,
yang bisa menjadikan kesimpangsiuran dalam mencari solusi problematika
kehidupan.
Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral yang disebabkan ilmu dapat menjadikan manusia dalam masalah yang cukup besar.
Ilmu tanpa bimbingan moral (agama) adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral yang disebabkan ilmu dapat menjadikan manusia dalam masalah yang cukup besar.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai pemilik kebenaran hakiki, agama menjadi
alternatif terakhir dalam pumataakhiran suatu persoalan dalam ilmu dan
filsafat. Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwa agama juga tidak akan
terlepas dari filsafat dan ilmu. Jadi, hubungan antara agama, ilmu, dan
filsafat memiliki sisi saling keterkaitan, saling mendukung dan saling
menguatkan satu sama lain.
Bahkan, ilmu dan filsafat yang tanpa didasari agama,
hanya akan memberikan kontribusi palsu dalam kehidupan. Seperti apa
yang diungkapkan Abert Einstein “Saya
berpendapat bahwa semua spekulasi yang benar dalam dunia sains bersumber dari
rasa relegius yang dalam, dan tanpa perasaan tersebut spekulasi itu tidak akan
menghasilkan apa-apa”.
Dengan beberapa kekurangan
serta kelemahan filsafat dan ilmu, kita bisa menyempurnakannya dengan moral
(agama) yang bisa menjadi mediator guna menyempurnakan kedua konsep tersebut
untuk bisa diaktualisasikan dalam kehidupan duniawi yang praktis. Karena agama memiliki dua unsur yang menjadi ciri khas
keduanya (filsafat dan ilmu). Agama tidak hanya bersifat dogmatis belaka namun
juga bisa berlogika dan memberikan pembuktian-pembuktian yang empiris, riil,
logis, sistematis. Oleh karena itu nilai-nilai kebenaran yang memang menjadi
akhir dari filsafat dan ilmu dapat direalisasikan dengan konsep kebenaran
hakiki yang dimiliki agama.
DAFTAR PUSTAKA
Goerge T.W. Patrick, Introduction to Philosophy, op. cit., p.
20. Dalam buku Sidi Gazalba. 1990Sistematika Filafat. Jakarta: PT Bulan
Bintang..
Susanto. 2014. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Anshari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu,
Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.
A.Enstein, “Science and Religion,” Alamat di
Conference on Science, Philosophy, and Religion, New York, 1940; dicetak
kembali dalam A.Enstein, Ideas an Opinions (Crown, New York, 1954,
1982),
Mustofa, A. Filsafat Islam. 2004. Bandung:
Pustaka Setia,
Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Anshari, Endang Saifuddin.
1979. Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Bahaf Zaenal muti’in, 2009.
Filsafat umum, Serang: Keiysa press,
I.R. Poedjawijatna, 1987. Tahu
dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara..
Jujun S. Sumiasumantri
(ed) 1985. Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia,cet.6
Nasution, Harun. 2008.
Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Arthur Asa Berger.
1989. Political Culture and Public Opinion, Transaction Publishers,
& Edward M. Meyers. 1996. Public Opinion and the Political Future of the
Nation's Capital, Georgetown University Press.
Poerwantana, dkk. 1988.
Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosda
17 February
2015, 12:21:47
17 February
2015, 12:21:28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar