Filsafat
berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti adalah cinta
(pliilia) kebijaksanaan (sophia). Orang yang mencintai kebijaksanaan
disebut juga sebagai philosophos atau filsuf. Ada beberapa pertanyaan
tentang apa itu filsafat. Biasanya. ada dua jawaban atas pertanyaan
tenting hakikat filsalat. Pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan
bukan suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. Kedua, filsafat juga
sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual, yakni berpikir
tentang pikiran. Kedua argumen ini memang menjelaskan sesauatu, tetapi
tampaknya tetap tidak memuaskan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
filsafat adalah suatu aktivitas berpikir tanpa pengandaian apapun.
Dengan begitu, filsafat mengajarkan orang untuk berpikir radikal, dalam
arti positif, serta mendalam tentang segala sesuatu. Filsafat tidak puas
dengan jawaban-jawaban yang terlalu harafiah. Filsafat ingin menggali
sampai sedalam-dalamnya.
Filsafat itu sendiri setidaknya dapat dibagi menjadi tiga cabang, yaitu:
a. Metafisika. Metafisika adalah cabang frlsafat yang merefleksikan hakekat dari realitas pada levelnya yang paling abstrak.
b. Epistemologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang merefleksikan
tentang kapasitas pengetahuan manusia, hakikat pengetahuan, manusia, dan
genesis dari pengetahuan manusia.
c. Etika. Etika adalah cabang filsafat yang merefleksikan tentang
hakekat tindakan dan bagaimana manusia harus bertindak di dalam
kehidupan dunia.
Filsafat sains bukanlah kosmologi atau filsafat spekulatif tentang
alam. Kosmologi adalah ilmu yang beruaya melakukan spekulasi pemikiran
tentang proses terciptanya alam semesta, hakekat, dan tujuan dari alam
semesta, serta arti dari alam semesta itu. Salah satu contoh pandangan
kosmologis spekulatif adalah pemikiran Hegel dan Whitehead. Hegel
berpendapat bahwa alam semesta memiliki karakter yang dialektis.
Sementara, pada pemikiran Whitehead, alam semesta dipandang sebagai
suatu bentuk organisme. Pemikiran-pemikiran semacam itu seringkali
irnajinatif, spekulatif, dan bersifat antroposentrik.
Filsafat sains juga bukanlah sosiologi pengetahuan atau psikologi
pengetahuan. Sosiologi pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari ilmu
pengetahuan sebagai sebuah aktivitas sosial, yakni sebagai salah satu
bentuk aktivitas sosial di antara aktivitas sosial lainnya.
Secara umum, filsafat ilmu pengetahuan adalah sebuah upaya untuk
memahami makna, metode, struktur logis dari ilmu pengetahuan, termasuk
juga di dalamnya kriteria-kriteria ilmu pengetahuan, hukum-hukum, dan
teori-teori di dalam ilmu pengetahuan. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan berisi tentang penjabaran data, generalisasi dari data-data
tersebut, perumusan hukurn, dan teori serta argumentasi terhadapnya.
Sementara, filsafat ilmu pengetahuan berisi analisis tentang ilmu
pengetahuan, yakni analisis atas konsep-konsep yang digunakan di dalam
ilmu pengetahuan, serta analisis atas pendasaran-pendasaran rasional
dari ilmu pengetahuan itu.
A. Saintisme
Dalam paparan di berbagai literatur, secara umum menyatakan bahwa
saintisme adalah suatu istilah yang digunakan oleh para filsuf untuk
menggambarkan apa yang mereka lihat sebagai pemujaan ilmu pengetahuan,
yakni suatu sikap yang ironisnya banyak ditemukan di kalangan
intelektual. Para pemikir dan pengkritik saintisme berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan bukanlah satu – satunya jenis kegiatan intelektual
manusia yang dapat diandalkan. Ilmu pengetahuan juga tidak seharusnya
mendapatkan status yang istimewa, karena dianggap sebagai satu–satunya
jalan yang dapat ditempuh manusia untuk sampai pada pengetahuan.
Dalam kehidupan nyata sekarang ini, beberapa orang berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan telah memberikan kemudahan pada manusia yang seharusnya
tidak perlu. Artinya, kita akan hidup jauh lebih baik dan manusiawi
tanpa adanya ilmu pengetahuan. Argumen terakhir ini mungkin relevan,
jika ditempatkan pada persoalan tentang penggunaan teknologi dan ilmu
pengetahuan untuk menciptakan senjata pemusnah massal. Banyak antropolog
juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern yang berkembang di Eropa
memiliki arogansi kultural, sehingga ilmuwan barat seringkali memandang
rendah kebudayaan–kebudayaan lainnya di luar kebudayaan barat.
Metode pendekatan di dalam ilmu–ilmu alam memiliki koherensi dan
akurasi yang lebih tinggi daripada ilmu–ilmu sosial. Para ilmuwan sosial
telah melakukan analisis yang juga dengan pendekatan ilmu-ilmu alam.
Hasilnya adalah banyaknya penggunaan rumusan matematis dan metode
statistik di dalam ilmu–ilmu sosial. Di dalam sejarahnya, fisika
mengalami perkembangan yang sangat pesat, ketika Galileo memutuskan
untuk menerapkan metode matematis untuk mendeskripsikan gerak benda –
benda. Keberhasilan ini mempengaruhi para ilmuwan sosial untuk
menggunakan metode yang sama untuk mengembangkan ilmu–ilmu sosial. Tentu
saja, argumen ini punya pengandaian dasar yang problematis, bahwa objek
penelitian di dalam ilmu–ilmu alam dan ilmu–ilmu sosial memiliki
kualitas yang sama yang dapat dimatematiskan.
B. Permasalahan Di dalam Ilmu Pengetahuan
Di dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, argumentasi para sosiobiologi
ini banyak dikritik dari berbagai pihak. Beberapa diantara kritik
tersebut bersifat murni ilmiah. Salah satu argumen kritik tersebut
adalah bahwa argumen yang diajukan oleh para sosiobiologi sangat sulit
untuk dibuktikan di dalam realitas, sehingga jauh lebih baik ditempatkan
sebagai sebuah dugaan (conjecture), dan bukan sebagai sebuah kebenaran.
Sosiobiologi adalah sebuah pembenaran bagi tindakan negatif, terutama
tindakan–tindakan yang dilakukan oleh pria. Dengan berpendapat bahwa
setiap tindakan negatif, seperti menjadi pelaku pemerkosaan misalnya,
memiliki aspek genetis, maka secara implisit, para sosiobiologi ini
mengatakan bahwa tindak pemerkosaan tersebut adalah sesuatu yang
alamiah, dan bahwa sang pemerkosa tidak bertanggungjawab atas tindakan
tersebut, karena ia semata–mata hanya mengikuti dorongan genetisnya
saja. Dengan demikian, para pengkritik sosiobiologi ini berpendapat
bahwa ilmu tersebut sudah sangat mengandung nilai-nilai diskriminatif.
Selanjutnya, para pengkritik ini berpandangan bahwa sosiobiologi sangat
jauh dari pemikiran peradaban manusia, karena tidak bisa membedakan
antara fakta di satu sisi dan nilai (value) di sisi lain.
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan sebagai salah satu tiang penyangga
peradaban modern dan terkait erat dengan begitu banyak kepentingan di
dalam masyarakat, tidak bisa tidak haruslah mendapatkan pertimbangan
kritis dari berbagai pihak. Pertimbangan kritis ini adalah sesuatu yang
sangat baik, karena penerimaan begitu saja terhadap apapun yang
dikatakan oleh para ilmuwan bukanlah suatu sikap yang layak.
Adanya kemajuan teknologi seperti sekarang ini, bukan tidak ada
masalah, namun ternyata kemajuan teknologi memunculkan masalah baru yang
mulai menyelimuti manusia. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk
melayani dan mempermudah manusia pada perjalanannya menuju kemaslahatan
umat. Kini teknologi mulai berbalik menyerang manusia. Manusia mulai
kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak kemajuan teknologi yang
justru merusak lingkungan dan nilai kemanusiaan, bahkan penciptaan
senjata pemusnah massal.
Pada dasarnya, tujuan dari perkembangan ilmu pengetahuan (sains) dari
sudut aksiologis adalah memperoleh kebahagiaan. Menurut para filsuf
muslim, kebahagiaan dalam menuntut ilmu dengan objek keilmuannya, bukan
untuk merusak. Karena meteafisika adalah ilmu yang mempelajari “Sebab
Pertama atau Tuhan”, yang menempati objek tertinggi ilmu dan sebagai
sumber turunnya “wahyu ilahiah”, maka filsafat (metafisika) patut
dijadikan basis etis penelitian ilmiah. Kebahagiaan yang dituntut di
sini bukan hanya kebahagian fisik yang bersifat sementara. Tapi
kebahagiaan hakiki yang bersifat abadi dengan ketenangan jiwa.
Jika kemajuan ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi menyebabkan
kerusakan dimuka bumi, itu bukanlah kesalahan dari berkembangannya
sains, tetapi manusia yang memanfaatkan sains dengan menggunakan akalnya
tanpa tuntunan “wahyu ilahiah” yang menyimpang dari tujuan sains itu
sendiri.
Menilik sejarah peradaban keilmuan Islam, sains memang tak bisa
dilepaskan dari filsafat. Dari masa ke masa, baik pemerintahan Bani
Umayyah dan Abasiyah, tak ada beda antara sains dan filsafat. Bahkan
dalam tradisi Islam, filsafat disebut sebagai induk dari ilmu aqliah.
Pada tahun 700 dalam pemerintahan Dinasti Umayyah, terbangun
observatorium astronomi di Damaskus. Begitu pula pada Dinasti Abasiyah,
Khalifah Al-Mansyur diriwayatkan pernah mengumpulkan ilmuan, termasuk
dokter-dokter dari Persia sampai India. Ini membuktikan bahwa dalam
Islam, sains dan filsafat tetap berdampingan dan tetap terjaga hingga
kini.
Jadi, sains atau ilmu pengetahuan selalu berhubung erat dengan
filsafat dan cabang-cabang lain seperti metafisika, etika dan
sebagainya. Terlebih dalam tradisi filsafat Islam. Sains masih terkait
erat dengan filsafat bahkan theologi. Dalam karya Mulyadi Kartanegara
(2006) yang berjudul ’Gerbang Kearifan’ dijelaskan bahwa tak ada objek
ilmu satu pun yang tak berhubungan dengan dunia metafisik. Para filsuf
muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi apapun yang
terjadi di jagad raya ini yang pada gilirannya akan dijadikan objek
penelitian. Etika dan Sains merupakan filsafat praktis. Karena keduanya,
dalam penerapannya langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Keduanya sama-sama bertujuan memberi solusi atas kesulitan dan masalah
yang dihadapi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, teknologi telepon /
media komunikasi, internet, dan sebagainya. Semua ber-itikad
memperlancar dan memberi solusi dari kesulitan yang dihadapi manusia.
Usaha pemikiran dan penelitian yang dilakukan secara kritis dan
sistematis merupakan cara kerja filsafat. Karena itu, keduanya merupakan
cabang dari filsafat.
Sumber Bacaan:
1. Wattimena, R.A., 2008. Filsafat dan Sains. Penerbit: PT. GRASINDO, Jakarta.
2. Titus, H. 1959. Living Issues in Philosophy; an Introductory Textbook, 3th. American Book Company. New York.
3. Suriasumantri, J.S., 2003. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cet..XVII. Penerbit: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
4. Bidgoli, A.S., 1995. Revelation and Reason in The Thought of of
Tabâtabâ’î, with Special Reference to The Question of Freedom in Islam.
Tersedia pada: http://digitool.library.mcgill.ca/R/?func=dbin-jump-full&object_id=23240 &local_base=GEN01-MCG02. Diakses pada Tanggal: 26 Januari 2011.
5. Mulyadi Kartanegara, 2006. Gerbang Kearifan. Penerbit: Lentera Hati, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar