;">
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Selasa, 27 Desember 2016

Sekilas tentang Metafisika dalam Konteks Pemikiran Kefilsafatan

Sejak lama istilah metafisika digunakan di Yunani untuk menunjukkan karya-karya tertentu Aristoteles. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani meta ta physika, yang berarti “hal-hal yang terdapat sesudah fisika”. Aristoteles mendefinisikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada (being qua being), yang dilawankan, misalnya, dengan yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini metafisika digunakan baik untuk menunjukan filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika seringkali juga dijumbuhkan dengan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu “ontologi”[7], “cabang metafisika yang membicarakan watak realitas realitas tertinggi atau wujud (being)”[8]. Sementara itu, metafisika juga dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.[9] Sedang dalam pandangan Aristoteles, metafisika (sebagai sebuah studi) memiliki tujuh (kemungkinan) pengertian: (1) studi tentang being-in-inself atau being-as-such (yang ada sejauh yang ada), yang berbeda dengan studi “partikular” tentang yang yang ada; metafisika mempelajari ciri-ciri yang dimiliki semua yang ada ini secara umum. Dalam arti ini metafisika mengajukan pertanyaan-pertanyaan penting, seperti: “Apakah yang ada itu? Apa substansi itu? Dan Apakah realitas itu?”; (2) studi tentang apa artinya bila dikatakan bahwa sesuatu disebut sebagai “yang ada”, dan apa artinya “berada”; (3) studi tentang prinsip-prinsip (hukum-hukum) pertama yang abadi; (4) studi tentang bidang “Sang Ada Abadi”, tersendiri serta tidak berubah. Dalam arti ini metafisika menjadi identik dengan definisi tradisional “teologi”; (5) studi tentang substansi yang tidak dapat dicerap indera sebagaimana dilawankan dengan ilmu-ilmu yang berurusan dengan substansi-substansi yang dapat dicerap indera, yang dalam istilah Aristoteles (studi tentang “Sang Ada Abadi” dan substansi yang tidak dapat dicerap indera) disebut sebagai “Filsafat Pertama” (First Philosophy); (6) merupakan daftar mengenai: (a) hal-hal umum atau alam benda-benda yang digeluti oleh ilmu-ilmu, dan (b) studi tentang bagaimana bagaimana tingkatan eksistensi berhubungan satu sama lain dan bagaimana tingkatan eksistensi itu menyediakan kerangka di mana terjadi suatu kegiatan dan dengannya kegiatan itu dibatasi; (7) studi tentang (a) relasi timbal balik semua tipe pengetahuan, (b) bagaimana konsep-konsep pengetahuan itu mengena atau dapat diterapkan secara tepat pada apa yang ada, dan (c) status ontologis dan logis ilmu pengetahuan dalam upaya melengkapi diri kita untuk memahami kebenaran tentang realitas. Dalam pandangan Aristoteles, pengertian keenam dan ketujuh tersebut di atas berkaitan dengan hal-hal seperti: status ontologis dan logis universalia, hubungan hal-hal yang partikular dengan (yang) universal, status konsep-konsep kesatuan, energi, perubahan, bentuk, titik-titik matematik, garis-garis, bentuk-bentuk geometris dan sebagainya.[10]
Oleh karena itu metafisika – dalam konteks fenomenologi —[11] itu perlu didahului atau diperkenalkan oleh sebuah ilmu yang sepenuhnya bersifat berdiri sendiri, demikian

FENOMENOLOGI TRANSENDENTAL EDMUND HUSSERL

Oleh: Muhsin Hariyanto
A. Prawacana
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Para peminat studi filsafat sepakat untuk menyatakan, bahwa pada awal abad ke-20 ini, muncul beberapa filosof yang sangat berpengaruh dalam sejarah pemikiran filsafat. Salah satunya adalah Edmund Husserl. Tokoh ini sangat meminati filsafat dan prihatin dengan situasi intelektual dewasa ini yang, menurut anggapannya, sangat dikeruhkan oleh bermacam-macam prasangka, baik filosofis maupun ilmiah. Edmund Husserl, yang kemudian disebut sebagai “Bapak Pendiri” sebuah pendekatan yang sampai sekarang termasyhur dengan nama “fenomenologi”, mencoba untuk berbuat sesuatu. Dengan keprihatinannya itu, dia bermaksud menciptakan sebuah ilmu yang rigorous[3] yang dapat mendiskripsikan kenyataan apa adanya. Semboyannya yang termasyhur “Zurück zu densachen selbst” (kembalilah kepada benda- benda itu sendiri) cocok dengan seluruh pencarian filosofisnya.[4]
Secara kronologis, perkembangan pemikiran Husserl – memang — dapat dipahami melalui tiga tahap. Pertama ketika Ia berusaha menemukan matematika dalam psikologi, yang secara tegas terkuak di dalam karyanya “Philosophie der Arthmetik; Kedua – dimulai pada tahun 1895 – ketika dia tertarik untuk mengenalkan Psikologisme[5] dan mulai berkarya dengan menulis buku tentang Logical Investigation (1990-19901), yang dikatakan sebagai karya fenomenologinya yang pertama. Di mana Ia mencuatkan kritiknya terhadap Psikologisme, pada awalnya, dan kemudian berujung pada “Ide-ide tentang Logika Dasar” Ketiga, dan inilah yang sering disebut sebagai puncak karya Husserl (1906), adalah ketika Ia menemukan dan mengelaborasi ide tentang “reduksi transendental”, atau epoché dan mulai mengembangkan fenomenologinya pada arah yang “idealis”.[6]

Budaya Sekolah

Budaya sekolah
Menurut Zamroni (2011:111) memberikan batasan bahwa budaya sekolah adalah pola nilai-nilai, prinsi-prinsip, tradisi-tradisi dan kebiasaankebiasaan yang terbentuk dalam perjalanan panjang sekolah, dikembangkan sekolah dalam jangka waktu yang lama dan menjadi pegangan serta diyakini oleh seluruh warga sekolah sehingga mendorong munculnya sikap dan perilaku warga sekolah. Warga sekolah menurut UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional terdiri dari peserta didik, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendidik serta komite sekolah. Salah satu subyek yang diambil dalam penelitian budaya sekolah ini yaitu peserta didik (siswa).

Zamroni (2011:87) mengemukakan pentingnya sekolah memiliki budaya atau kultur. Sekolah sebagai suatu organisasi harus memiliki: (1) kemampuan untuk hidup, tumbuh berkembang dan melakukan adaptasi dengan berbagai lingkungan yang ada, dan (2) integrasi internal yang memungkinkan sekolah untuk menghasilkan individu atau kelompok yang memiliki sifat positif. Oleh karenanya suatu organisasi termasuk sekolah harus memiliki pola asumsi-asumsi dasar yang dipegang bersama seluruh warga sekolah. Memperhatikan konsep diatas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya sekolah merupakan pola-pola yang mendalam, kepercayaan nilai, upacara, simbol-simbol dan tradisi yang terbentuk dari rangkaian, kebiasaan dan sejarah sekolah, serta cara pandang dalam memecahkan persoalan-persoalan yang ada di sekolah.

Budaya, Budaya Sekolah dan unsur-unsurnya

1. Pengertian Budaya

Zamroni mengatakan bahwa budaya merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat yang mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak (http://pakguruonline.pendidikan.net/pradigma_pdd_ms_depan36.htm
l, diakses tanggal 31 Februari 2012). Budaya dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.
Kebudayaan juga didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar (Koentjaraningrat, 2003:72). Kebudayaan atau kultur adalah keseluruhan kompleks yang terbentuk di
dalam sejarah dan diteruskan dari masa ke masa melalui tradisi yang mencakup organisasi, sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik dan ilmu. Dengan demikian maka budaya terbentuk melalui proses perjalanan waktu dalam sejarah yang berkembang dari
generasi ke generasi berikutnya.

Pelestarian Budaya Lokal

Pelestarian budaya lokal

Beragam wujud warisan budaya lokal memberi kita kesempatan untuk mempelajari kearifan lokal dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di masa lalu. Masalahnya kearifan local tersebut seringkali diabaikan, dianggap tidak ada relevansinya dengan masa sekarang apalagi masa depan. Dampaknya adalah banyak warisan budaya yang lapuk dimakan usia, terlantar, terabaikan bahkan dilecehkan keberadaannya. Padahal banyak bangsa yang kurang kuat sejarahnya justru mencari-cari jatidirinya dari tinggalan sejarah dan warisan budayanya yang sedikit jumlahnya. Kita sendiri, bangsa Indonesia, yang kaya dengan warisan budaya justru mengabaikan asset yang tidak ternilai tersebut. Sungguh kondisi yang kontradiktif. Kita sebagai bangsa dengan jejak perjalanan sejarah yang panjang sehingga kaya dengan keanekaragaman budaya lokal seharusnya mati-matian melestarikan warisan budaya yang sampai kepada kita. Melestarikan tidak berarti membuat sesuatu menjadi awet dan tidak mungkin punah. Melestarikan berarti memelihara untuk waktu yang sangat lama. Jadi upaya pelestarian warisan budaya lokal berarti upaya memelihara warisan budaya lokal untuk waktu yang sangat lama. Karena upaya pelestarian merupakan upaya memelihara untuk waktu yang sangat lama maka perlu dikembangkan pelestarian sebagai upaya yang berkelanjutan (sustainable).

Jadi bukan pelestarian yang hanya mode sesaat, berbasis proyek, berbasis donor dan elitis (tanpa akar yang kuat di masyarakat). Pelestarian tidak akan dapat bertahan dan berkembang jika tidak didukung oleh masyarakat luas dan tidak menjadi bagian nyata dari kehidupan kita. Para pakar pelestarian harus turun dari menara gadingnya dan merangkul masyarakat menjadi pecinta pelestarian yang bergairah. Pelestarian jangan hanya tinggal dalam buku tebal disertasi para doktor, jangan hanya diperbincangkan dalam seminar para intelektual di hotel mewah, apalagi hanya menjadi hobi para orang kaya. Pelestarian harus hidup dan berkembang di masyarakat. Pelestarian harus diperjuangkan oleh masyarakat luas (Hadiwinoto, 2002: 30).

Singkat kata pelestarian akan dapat sustainable jika berbasis pada kekuatan dalam, kekuatan lokal, kekuatan swadaya. Karenanya sangat diperlukan penggerak, pemerhati, pecinta dan pendukung dari berbagai lapisan masyarakat. Untuk itu perlu ditumbuhkembangkan motivasi yang kuat untuk ikut tergerak berpartisipasi melaksanakan pelestarian, antara lain:
1. Motivasi untuk menjaga, mempertahankan dan mewariskan warisan budaya yang diwarisinya dari generasi sebelumnya;
2. Motivasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kecintaan generasi penerus bangsa terhadap nilai-nilai sejarah kepribadian bangsa dari masa ke masa melalui pewarisan khasanah budaya dan nilai-nilai budaya secara nyata yang dapat dilihat, dikenang dan dihayati;
3. Motivasi untuk menjamin terwujudnya keragaman atau variasi lingkungan budaya;
4. Motivasi ekonomi yang percaya bahwa nilai budaya local akan meningkat bila terpelihara dengan baik sehingga memiliki nilai komersial untuk meningkatkan kesejahteraan pengampunya; dan
5. Motivasi simbolis yang meyakini bahwa budaya lokal adalah manifestasi dari jatidiri suatu kelompok atau masyarakat sehingga dapat menumbuhkembangkan rasa kebanggaan, harga diri dan percaya diri yang kuat.

Perubahan Kebudayaan

Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, ada dua sebab perubahan
1) Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya sendiri,misalnya perubahan jumlah dan komposisi
2) sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
3) adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi. Dalam masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui penemuan (discovery) dalam bentuk ciptaan baru (inovation) dan melalui proses difusi.
Discovery merupakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai hubungan dua gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru yang berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui penciptaan dan didasarkan atas pengkom-binasian pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala yang dimaksud. Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan. Pertama, cultural lag, yaitu perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, cultural lag dapat diartikan sebagai bentuk ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.

Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng-gambarkan suatu praktik yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup, dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-istiadat semata-mata. Jadi, cultural survival adalah pengertian adanya suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu hingga sekarang. Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses pertentangan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Konflik budaya terjadi akibat terjadinya perbedaan kepercayaan atau keyakinan antara anggota kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.

Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses guncangan kebudayaan sebagai akibat terjadinya perpindahan secara tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Ada empat tahap yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: (1) tahap inkubasi, yaitu tahap pengenalan terhadap budaya baru, (2) tahap kritis, ditandai dengan suatu perasaan dendam; pada saat ini terjadi korban cultural shock, (3) tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap kedua, hidup dengan damai, dan (4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kondisi yang baru itu; sementara itu rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.
Pengertian Kebudayaan Menurut E.B. Taylor (1871), Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,

Perubahan Sosial

Perubahan Sosial

Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu.Perubahan itu bisa dalam arti sempit , luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang, pada perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Menurut Moore dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting dalam struktur sosial . Yang dimaksud struktur sosial adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan sosial itu terus menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial :
1) Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
2) Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan;
3) Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.