;">
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Sabtu, 24 Desember 2016

PENDIDIKAN IPS DI TENGAH GLOBALISASI


Oleh Supardi
Abstrak
Pendidikan IPS secara ideal diharapkan menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menghadapi masalah-masalah diri dan lingkungannya. Sebagai alat pendidikan moral, PIPS diharapkan mampu memotivasi siswa  agar menjadi warga negara yang baik. Dalam kenyataannya PIPS di Indonesia masih banyak menghadapi tantangan.  
Apa saja tantangan yang dihadapi PIPS di Indonesia pada era globalisasi saat ini? Bagaimana upaya menghadapi tantangan pendidikan IPS dalam era globalisasi saat ini? Hasil kajian ini menunjukkan bahwa beberapa tantangan PIPS yang dihadapi  di antaranya belum idealnya penyusunan kurikulum pendidikan IPS, pembelajaran IPS kurang kontekstual, kurang menantang dan bermakna. Hubungan antara pemerintah, LPTK, masyarakat dan sekolah  juga belum  sinergis sehingga PIPS seakan berjalan sendiri-sendiri. Untuk memperbaiki kondisi tersebut maka perlu dilakukan improviasasi baik terutama oleh pemerintah, LPTK, dan guru.

Kata Kunci : Pendidikan, IPS, globalisasi, 

A.      Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan umat manusia pada abad globalisasi. Menurut Samuel P. Huntington, bahwa pada era globalisasi batas-batas geografis negara menjadi kabur. Batas-batas peradaban menjadi benturan antar peradaban. Konflik antar peradaban merupakan fase akhir dalam evolusi konflik dunia modern. Kemajuan iptek telah mempendek jarak dan waktu demikian kuatnya. Kejadian di suatu tempat lokal, sudah menjadi bagian lokalitas lintas bangsa dan benua. Ekses globalisasi telah merambah berbagai lini kehidupan umat manusia, entah itu politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk juga pendidikan.
Beberapa fenomena penting abad globalisasi adalah liberalisasi/pasar bebas, seperti AFTA dan  APEC. Suka  tidak suka, mau tidak mau kita harus menghadapi liberalisasi yang dimulai akhir abad XX (permulaan abad XXI).  Selain masalah politik dan ekonomi, liberalisasi juga telah mendorong dunia pendidikan mendapatkan dampak, baik langsung maupun tidak langsung. Sangat dimungkinkan bahwa sekolah-sekolah lokal akan tergusur oleh hadirnya lembaga pendidikan asing dalam berbagai format.
Pendidikan IPS yang selama ini terkesan jalan di tempat, masih belum mendapatkan posisi yang membanggakan di tengah arus globalisasi. Menghadapi fenomena ini, Pendidikan IPS idealnya harus responsif dan menata diri berhadapan dengan globalisasi. Makalah ini bertujuan untuk membahas bagaimana dampak globalisasi terhadap perkembangan PIPS, dan bagaimana upaya revitalisasi PIPS di tengah-tengah globalisasi?

B.      Ilmu Pengetahuan Sosial dan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)?
Apakah perbedaan antara IPS dengan Pendidikan IPS (PIPS)?  Ilmu Pengetahuan Sosial (Social Sciences) menurut Daljoeni (1992: 7), sebagai ilmu pengetahuan tentang manusia di dalam kelompok yang disebut masyarakat dengan
menggunakan ilmu politik, ekonomi, sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.  Dengan demikian, IPS adalah ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan secara sistematis dan dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan penelitian yang sudah direncanakan. 
Sedangkan definisi Pendidikan IPS (Social Studies) menurut Mayhood dkk., (1991: 10), adalah “The Social Studies are comprissed of those aspests of history, geography, and pilosophy which in practice are selected for instructional purposes in schools and collegs” National Council for the Social Studies (NCCS) memberikan definisi yang lebih tegas, seperti yang dikutip Catur (2004), bahwa IPS sebagai “the study of political, economic, culturals, and environment aspects of societies in the past, present and future”  Perkembangan Pendidikan IPS di AS  sangat gencar  pasca Perang Dunia I, ketika integrasi nasional diperlukan sebagai benteng melemahnya kebudayaan Anglo-Saxon sebagai identitas peradaban mereka. Sementara di  Indonesia istilah IPS sendiri baru muncul sekitar tahun 1975-1976, pada saat penyusunan pendidikan PSP, label untuk mata pelajaran Sejarah, Ekonomi, geografi dan mata pelajaran lainnya pada tingkat dasar dan menengah. (Noman, 2001:101). 
Noman Somantri  memberikan penjelasan PIPS adalah suatu synthetic discipline yang berusaha untuk mengorganisasikan dan mengembangkan
substansi ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Makna synthetic discipline, bahwa PIPS bukan sekedar mensistesiskan konsepkonsep yang relevan antara ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mengkorelasikan dengan masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Secara lebih tegas, bahwa Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan, yaitu; Sebagai Pendidikan Kewarganegaraan; Sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya dalam disiplin ilmu-ilmu sosial; Sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara
reflektif.
Perbedaan antara ilmu-ilmu sosial (social sciences) dengan PIPS bukanlah prinsipil, melainkan hanya perbedaan gradual. Noman Somantri menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial diorganisasikan secara sistematis dan dibangun melalui penyelidikan ilmiah dan penelitian yang sudah direncanakan, sedangkan PIPS terdiri atas bahan pilihan yang sudah disederhanakan dan diorganisasikan secara psikologis dan ilmiah untuk tujuan pendidikan. (2001: 73)
Diperlukan bangunan yang sinergis antara PIPS di perguruan tinggi dengan PIPS untuk pendidikan dasar dan menengah guna merealisasikan konsep di atas.  Dalam pendidikan dasar dan menengah PIPS mempunyai
penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis. Sedangkan untuk FPIPS-FPIPS LPTK PIIS merupakan seleksi dari struktur disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisisr dan disajikan secara ilmiah (dan psikologis) untuk mewujudkan tujuan Pendidikan IPS.
Pendidikan IPS mempunyai tujuan untuk mewujudkan pendidikan lanjutan bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora  dan ikut mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik. (Noman, 2001:215). Maksud ini sesuai dengan pasal  37 UU SISDIKNAS 2003, bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat IPS, yang dalam penjelasannya disebutkan  bahwa IPS merupakan ilmu bumi, sejarah,  ekonomi, kesehatan, dan sebagainya dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis
peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat.
Misi yang dibawa Pendidikan IPS adalah pengembangan keilmuan sekaligus nilai dan kewarganegaraan. Walaupun kerangka ini sebagian ilmuwan menolaknya, setidaknya Jatidiri  PIPS di Indonesia adalah sebangun dengan maksud di atas. Secara nasional, tujuan PIPS adalah untuk mendukung tujuan pendidikan nasional yang dalam pasal 3 UU SISDIKNAS tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. 


C. Perkembangan Pendidikan IPS di Indonesia
Urgensinya peranan PIPS dalam menyokong tujuan pendidikan nasional telah direspon secara positif kalangan sarjana dan ilmuwan sosial untuk memantapkan format jati diri PIPS di Indonesia. Seminar, saresehan  maupun konvensi-konvensi nasional diselenggarakan untuk menjembatani  secara akademis upaya pemantapan format PIPS di Indonesia.  Perlu dibuat kerangka sistematis yang memuat kerangka PIPS di sekolah mengah,  dengan PIPS di perguruan tinggi.
a.  PIPS di sekolah menengah
Salah satu arah pengembangan pendidikan IPS adalah untuk kalangan sekolah menengah,  bahwa PIPS untuk sekolah menengah dimaksudkan untuk
(Numan Sumantri, 2001, 44):
1.      Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan, moral, ideologi negara dan agama.
2.      Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
3.      Menekankan reflective inquiry
4.      PIPS  mengambil kebijakan 1,2, dan 3 di atas.

Pengertian pertama mungkin secara tegas telah terformat dalam PKN, tetapi untuk yang ke-2, ke-3 dan ke-4, masih lemah implementasinya.
Dalam praktik pelaksanaan program PIPS di sekolah selama ini belum mendapatkan respon yang menggembirakan. Demikian halnya dengan sebagian besar masyarakat, yang sering memandang sebelah mata urgensi mata pelajaran IPS, bahkan termasuk pengambil kebijakan yang kadang menganak tirikan PIPS.  
Data hasil penelitian LEMLIT UNY (1998) menunjukan bahwa 50% siswa SMA menyatakan merasa tidak puas terhadap pembelajaran ilmu-ilmu sosial karena guru dan cara penyampaian pelajaran kurang menarik (Endang:2004). Permasalahan lain adalah bahwa buku  pelajaran tidak mengikuti akan pendekatan proses pengambilan keputusan dan pendekatan pemecahan masalah. Implikasinya bahwa pengajaran Pendidikan IPS terasa kering dan membosankan. 
Selain itu, keadaan tersebarnya kondisi sekolah, media pendidikan yang kurang memadai, administrasi pendidikan yang kurang dikelola dengan baik, dan kuatnya pengaruh pendekatan ekspositori dan belajar pasif merupakan penghambat aktualisasi Pendidikan IPS.  Kesimpulannya, bahwa Pendidikan IPS belum dirasakan mempunyai kontribusi besar dalam pemenuhan kebutuhan hidup sebagian besar masyarakat, disebabkan oleh karena faktor intern (upaya pembelajaran) dan faktor ekstern (paradigma masyarakat yang konsumeris, hedonis dan pragmatis.

b.   Beberapa Permasalahan PIPS di Perguruan Tinggi
Upaya pengembangan PIPS di perguruan tinggi menghadapi beberapa kendala diantaranya adalah :
1.      Penelitian-penelitian skripsi maupun tesis, sering tidak mempunyai arti penting secara praktis dalam kehidupan masyarakat, atau kadang hanya sebagai usaha persyaratan memperoleh gelar sarjana. Penelitian-penelitian skripsi di perguruan tinggi belum menunjukkan kuantitas dan kualitas yang menggembirakan berkaitan dengan peningkatan kualitas pembelajaran IPS. Sebagian mahasiswa lebih tertarik untuk membuat skripsi yang berkaitan dengan bidang studi khususnya. Masih sangat jarang skripsi yang mengkaji pembelajaran IPS secara terpadu. Hal ini menyebabkan kajian PIPS di SMP dan SMA kurang seimbang. Kalaupun ada mahasiswa yang meneliti pembelajaran IPS di SMP, belum menunjukkan kajian IPS integral tetapi lebih cenderung mengkaji materi yang berhubungan dengan bidang studi ilmu sosialnya. Seharusnya fakultas PIPS membuat kerangka sistematis untuk menyeimbangkan kajian ilmiah mahasiswa  baik skripsi maupun penelitian lainnya yang berkaitan dengan PIPS terpadu.
2.      Rendahnya mutu guru  lulusan LPTK, baik disebabkan oleh faktor intern, maupun kebijakan pemerintah yang kadang kurang adil. Kebijakan pemerintah yang kurang berpihak  pada pendidikan menyebabkan perhatian terhadap peningkatan kualitas  guru kurang optimal. Profesi guru bukan pekerjaan yang menjadi cita-cita utama, akibatnya input dan out put LPTK pencetak guru kurang optimal. Nilai rata-rata input masuk perguruan tinggi pada  prodi-prodi FPIPS masih rendah dibanding program studi lain terutama MIPA, Teknik  dan Bahasa.
3.      Belum matangnya para sarjana IPS antara bidang keilmuan dengan kependidikan, sehingga ketika mereka terjun dilapangan kadang tidak memahami salah satunya, atau bahkan kedua-duanya. Mengapa terjadi demikian? Hal ini disebabkan oleh malasnya sebagian guru yang telah mengajar untuk terus mengembangkan bidang keilmuannya. Hanya sebagian kecil guru yang termotivasi untuk mengembangkan ilmu pendidikan dan ilmu bidang studinya dalam rangka pengembangan kompetensi diri. Hal ini bisa dilihat dengan sulitnya terpenuhi jumlah karya penelitian guru ketika  hendak mengajukan kenaikan pangkat di Golongan IV bagi pegawai negeri. Kenyataan ini tentu bukan sekedar  kesalahan yang dilakukan oleh guru. Bagaimana mungkin mereka mempunyai semangat untuk mengembangkan diri kalau kesejahteraan yang dimiliki kurang mencukupi?
4.      Kurangnya koordinasi antara LPTK, masyarakat dan pemerintah untuk mengatasi masalah tenaga kependidikan secara adil dan demokratis. Idealnya antara pemerintah, sekolah, lembaga tinggi kependidikan dan masyarakat mengoptimalkan hubungan yang sinergis dalam menyiapkan
dan mengembangkan  tenaga kependidikan.  Perguruan tinggi harus membuka diri bersama-sama sekolah dan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan IPS.
5.      Teori-teori pendidikan, khususnya psikologi pendidikan sebagian  sulit untuk diaplikasikan secara sistematis dan berkesinambungan. Untuk pengembangan pembelajaran IPS, seharusnya sekolah bersama lembaga pendidikan tinggi berkolaborasi merumuskan konsep pembelajaran secara menarik dan berkualitas. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk penelitian bersama. Walaupun selama  ini sudah ada beberapa penelitian kolaborasi dosen dan guru, misalnya Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dibiayai Dikti, namun jumlahnya sangat minim. Idealnya penelitian berbasis perbaikan kualitas proses pembelajaran  terus diintensifkan sebab melalui penelitian tindakan secara langsung guru akan melaksanakan pembagaruan pembelajaran dengan perbaikan metode-metode
pembelajaran.
6.      Perkembangan dan perubahan masyarakat yang begitu cepat akibat ekses globalisasi, di satu sisi menjadi penghambat aktualisasi tujuan PIPS.  Apabila tujuan pendidikan IPS adalah untuk membentuk warga negara yang baik, tentu warga negara yang taat akan hukum dan norma yang berkembang di masyarakat. Dampak globalisasi di satu sisi memberikan pengaruh negatif atas masuknya budaya dan ekses hasil kebudayaan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Perkembangan iptek yang begitu pesat tidak mungkin  melakukan proteksi kebudayaan asing.
Inilah salah satu contoh fenomena yang harus dihadapai pendidikan IPS dalam era globalisasi.
Kalangan ilmuwan dan pengambil kebijakan telah melakukan usaha untuk  revitalisasi PIPS, dengan melakukan berbagai pemantapan paradigma baru PIPS yang lebih kredibel.  Beberapa usaha pembenahan PIPS  adalah dengan melakukan berbagai pembenahan kurikulum baik untuk tingkat dasar menengah, dan perguruan tinggi. Penerapan Kurikulum 2004 (KBK) merupakan salah satu terobosan untuk membuat  PIPS menjadi lebih bermakna, walaupun hasilnya belum jelas kelihatan kurikulum ini telah dikubur. Keluarnya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) secara prinsip sebenarnya ingin membuat pengembangan kurikulum IPS secara integral di pendidikan dasar (SD dan SMP).  Pendidikan IPS di SD sudah mulai tertata sebagai pendidikan IPS integral. Tetapi bagaimana dengan konsep kurikulum PIPS di SMP?
Konsep kurikulum Pendidikan IPS di SMP masih menunjukkan konsep yang terpisah, atau paling dekat adalah correlated. Konsep pendidikan IPS di SMP hanya sekedar membagi-bagi tema dalam bentuk SK dan KD yang dikelompokkan dalam program semester dan tahunan. KTSP belum menunjukkan kurikulum IPS yang terpadu, walaupun namanya IPS dan buku pelajarannya rencananya digabungkan  dalam satu nama buku IPS SMP. Tetapi apa gunanya membuat bungkus IPS kalau isinya masih terpisah-pisah? Kurikulum IPS di SMP saat ini ibarat kereta api dan Sejarah, Geografi, Ekonomi, Sosiologi dan Sntropologi sebagai gerbongnya. Walaupun sudah diketuk sebagai kurikulum yang digunakan mulai tahun 2006, namun hendaknya KTSP perlu dikaji ulang.
Perombakan kurikulum tentu akan memakan cost  yang sangat tinggi. Masalah ini dapat dilakukan dengan melakukan lokakarya intensif untuk perbaikan kualitas pembelajaran IPS.
Konversi IKIP menjadi universitas pada 10 IKIP negeri di Indonesia  merupakan salah satu bagian usaha memantapkan format  LPTK yang mampu menguasai bidang kependidikan dan keilmuan.  Sudahkah usaha tersebut berasil? Memang setelah konversi IKIP  menjadi universitas kecenderungan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi eks IKIP cenderung naik. Tetapi bagaimana dengan kenaikan jumlah mahasiswa yang memilih prodi pendidikan? Kecenderungan masyarakat untuk memilih Prodi Pendidikan masih belum seperti yang diharapkan bersama.

C. Menata Pendidikan IPS di Tengah Arus Globalisasi
Globalisasi ditandai ‘lepasnya’ jarak dan waktu  sebagai konsekuensi kemajuan iptek. Batas-batas geografis menjadi samar-samar, nasionalisme telah memasuki fase baru. Dalam jaman pasca modern tersebut, menurut Giden, telah menghasilkan tiga lapisan politik, yakni etnik lokal, regional, jender atau ekologi; tingkat nasional; dan akhirnya tingkat supranasional, yang mencakup kawasan kontinental/komunitas global (Smith, 2003: 171). Dalam era ini isu-isu demokratisasi, HAM dan liberalisasi menjadi realitas yang harus dihadapi dan direspon secara cerdas. Abad keterbukaan, dimana ideologi isolasionalisme akan tenggelam dan runtuh.
Melihat fenomena dan kecenderungan dunia yang terus maju (seperti tanpa kendali), beberapa hambatan dan peluang pengembangan PIPS, bagaimana PIPS  harus menempatkan diri (reposisi)?  Masih relevankah PIPS menjadi kekuatan pendidikan yang mampu menopang kehidupan umat manusia? Ada beberapa hal yang harus diperhatikan, apabila PIPS tetap ingin eksis dan mempunyai kedudukan yang berarti  bagi umat manusia.
Pertama, Pembangunan jati diri yang lebih tegas, integratif, dan tidak fragmentaris untuk mendapatkan kewibawaan. Eksistensi Program S2 dan S3 PIPS di UPI Bandung dan UNY Yogyakarta bukan harus mampu menjalin hubungan sinergis sebagai agen pembaharuan pendidikan IPS. Artinya kedua perguruan tinggi seperti UPI dan UNY hendaknya secara intensif melakukan komunikasi dengan berbagai elemen dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan IPS di Indonesia. Artinya kedua lembaga pendidikan tinggi (UPI dan UNY) harus mampu mempengaruhi pendidikan IPS secara nasional, bukan
sekedar lokal.
Kedua, Pembaharuan  kurikulum PIPS hendaknya bukan sekedar tambal sulam, tetapi lebih bersifat interdisipliner, dan berorientasi pada ‘functional knowledge” serta aspirasi kebudayaan Indonesia dan nilai-nilai agama. Ketiga, Pengajar harus mampu menyajikan pengajaran/pembelajaran yang bersifat interdisipllin, berperan sebagai fasilitator pembelajar, dan menjadi problem solver baik di kampus/sekolah maupun di tengah-tengah masyarakat. Pengajar harus mampu memahami kebutuhan dasar lingkungannya, sehingga Pengajaran PIPS tidak bersifat kering. Pengajar bisa mengembangkan beberapa guidelines NCCS 1994 tentang pengajaran IPS yang powerful, yakni melakukan pengajaran IPS yang bermakna, integratif, berbasis nilai, menantang dan aktif. (Catur:2004).
Keempat, membangun hubungan secara sinergis antara LPTK, praktisi pendidikan, sekolah, pembuat kebijakan pendidikan, serta berbagai elemen environment  guna melakukan sharing untuk  menyusun kurikulum yang integratif dan responsif terhadap permasalahan-permasalahan riil, baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Kurikulum IPS harus bersifat fleksibel, artinya senantiasa bisa diubah,  perubahan berjalan secara kontinu supaya tidak ketinggalan jaman. (Nasution, 2003, 19)
Kelima, Kurikulum PIPS mampu membuat estimasi kehidupan yang akan berlangsung 30-50 tahun yang akan datang. Paradigma kurikulum PIPS berorientasi ke depan. Anak didik pada masa sekarang, mereka akan  menempuh usia dewasanya  pada 10 – 50 tahun yang akan datang. Konsekuensinya, kurikulum harus mampu mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan yang akan datang. 

D. Kesimpulan
Pendidikan IPS sebagai  synthetic discipline berusaha mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu sosial secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. PIPS mempunyai peran penting dalam membangun identitas nasional untuk menjadikan siswa yang kreatif, mampu memecahkan masalah diri dan lingkungannya, serta menjadi warga negara yang baik dan bermoral. Di tengah iklim globalisasi, PIPS  tetap diperlukan baik sebagai penopang identitas nasional, maupun problem solver masalah-masalah lokal, regional, nasional, dan global. Berbagai masalah PIPS baik dari kurikulum, pengembangan di LPTK, kemampuan guru dalam mengajarkan, dan kebijakan pemerintah dalam  mendorong PIPS yang ideal perlu terus diusahakan secara optimal. Tanpa sinergitas dari berbagai komponen di atas, sulit mewujudkan PIPS yang bermakna.  
DAFTAR PUSTAKA


E Mulyasa, (2004), Implementasi Kurikulum 2004,, Rosda Bandung

------------, (2004), KBK Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Rosda, Bandung.

James A Beane, Dkk, (1986), Curriculum Planning and Development, Allyn and Bacon inc., Toronto.

M.  Numan Somantri, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Rosda, Bandung

N.    Daljoeni, (1992), Dasar-dasar IPS, Alumni, Bandung

Noeng Muhadjir, (2000), Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin, Yogyakarta

S. Nasution, (2003), Asas-Asas Kurikulum, Bumi Aksara, Jakarta

Smith, A.D., (2003), Nasionalisme, Teori, Ideologi dan Sejarah, terj. Frans Kowa, Erlangga, Jakarta.

Mahood, Wayne, et.al., (1991), Teaching Social Studies in Middle and Senior High Schools, Macmillan, Toronto.

Makalah:
Endang D.I., “Implementasi KBK pada Mata Pelajaran Ilmu-ilmu Sosial di
Tingkat SMA”, Seminar HISPISI 17 April 2004

Saidihardjo, “Jatidiri Sumber Daya Manusia dan Tantangan PIPS pada Era Globalisasi” makalah Seminar FORKOM VIII Pimpinan FPIPS/JPIPS seIndonesia, Jakarta 11-12 November 1997



SUPARDI S.PD
DOSEN JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FISE UNY
MATA KULIAH STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PENDIDIKAN ILMU

SOSIAL 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar