;">
TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

Sabtu, 24 Desember 2016

KEBENARAN ILMIAH, METODE ILMIAH, DAN PARADIGMA RISET KEPENDIDIKAN

KEBENARAN ILMIAH, METODE ILMIAH,
DAN PARADIGMA RISET KEPENDIDIKAN
Dr. Adang Heriawan, M.Pd *)

Kebenaran (Ilmiah) sebagai Masalah Filsafat
            Pemikir Jerman, Immanuel Kant, menyederhanakan pokok persoalan filsafat kedalam empat pertanyaan utama, yaitu : (1) apa yang dapat saya harapkan (What may I hope)?; (2) apa yang dapat saya ketahui (what can I know)?; (3) apa yang seyogyanya saya lakukan (what should I do)?; dan (4) apa/siapakah manusia itu (what is man)? Pertanyaan pertama menyangkut metafisika, yang kedua epistemologi, yang ketiga etika dan estetika, dan yang keempat filsafat antropologi.
            Risalah ini berkenaan dengan pertanyaan kedua, yaitu epistemologi (episteme = pengetahuan). Secara harfiah epistemologi biasanya diartikan sebagai “filsafat ilmu”, “filsafat pengetahuan”, “filsafat ilmu pengetahuan”, atau lebih tepat, “filsafat tentang ilmu pengetahuan”. Didalamnya tercakup teori tentang pengetahuan (theoris of knowledge). Pokok persoalannya adalah masalah benar dan salah (true-not true), dan bukan baik-buruk atau indah jelek seperti dibahas etika dan estetika, bukan pula soal tujuan hidup seperti dikupas dalam ontologi.
            Mempermasalahkan “benar-salah” berarti mempertanyakan tiga hal : (1) apakah sumber pengetahuan itu?; (2) apakah hakikat pengetahuan itu?; dan (3) bagaimana validitas pengetahuan itu dan bagaimana mengujinya?
            Terhadap pertanyaan ketiga diatas, banyak aliran filsafat mengemukakan pandangan yang berbeda-beda. Nama-nama aliran filsafat itu sangat beragam, tergantung cara mengklasifikasikannya. Misalnya secara acak dapat disebut empirisme, rasionalisme, idealisme, materialisme, pragmatisme, realisme, positivisme, eksistensialisme, skeptisisme, emergentisme, dan banyak lagi yang masing-masing saling bersinggunngan. Beragam aliran filsafat (ilmu/pengetahuan) menunjukkan bahwa cara para pemikir dalam memahami sumber, hakikat, dan kesahihan pengetahuan tergantung pada aliran yang digunakannya.
            Sampai disini, istilah “pengetahuan” (knowledge) digunakan, dan buku “ilmu” (science). Sebenarnya sulit untuk mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa inggris untuk kata “ilmu”, tanpa memiliki konotasi yang khusus. Science misalnya kerap kali rancu pengertiannya dalam bahasa Indonesia karena konotasinya seringkali hanya menunjuk pada natural science termasuk juga social science. Namun untuk praktisnya, ‘ilmu’ disini mengacu pada pengertian science.
            “Ilmu” dan “pengetahuan” sesungguhnya memiliki arti yang agak berbeda. Secara singkat dapat dikatakan bahwa  ilmu dan pengetahuan yang telah memiliki sistematika tertentu, atau pengetahuan yang memiliki ciri-ciri khas. Karena itu, ilmu adalah spesies dari genus yang disebut pengetahuan. Bila definisi ini diterima (karena ada definisi lain yang berbeda dengan definisi ini, misalnya dari Aristoteles dan  Peurseun), maka semua ilmu pastilah terdiri dari ataus pengetahuan-pengetahuan, tetapi tidak semua pengetauan adalah ilmu.
            Ilmu memiliki ciri-ciri dan stadar-standar tertentu sebagai hasil konsesnsus para ilmuan. Ada semacam “criteria of demarcation” (meminjam istilah Karl Popper) antara pengetahuan yang (telah) berstatus ilmu pengetahuan dengan pengetahuan yang semata-mata hanya pengetahuan seperti akal sehat (common sense). Contoh-contoh pengetahuan yang didasarkan pada akal sehat misalnya dikemukakan oleh Goldstein & Goldstein (1980) dalam bukunya, How We Know: An Exploration of the Scientific Process, khususnya Bagian I.
            Kriteria demarkasi itu antara lain : (1) obyektifitas, (2) ada pokok persoalan tertentu yang menjadi obyek studi (formal dan materiil), (3) memiliki sistematika content dan area of studies, dan (4) terbuka – dalam arti dapat dijelaskan secara ilmiah, (5) ada metodologi atau disciplined inquiry,  dan (6) memiliki terminologi-terminologi yang standar. Dalam suatu bangunan keilmuan, logika rasional dan empiri (pengalaman) yang menyangkut fakta, memegang peranan penting. Dapat dipahami bila definisi suatu disiplin ilmu selalu dimulai dengan “a systematic body of knowledge…”
            Pengertian ‘ilmu’ dan ‘pengetahuan’ diatas memang tidak selalu memuaskan, apalagi kalau menyangkut soal semantik. Edwards (1967, Vol. 4:345) misalnya mendefinisikan knowledge sebagai  “justified true belief”. Apa yang kita yakini benar saja, tanpa bisa dijustifikasikan, tidak bisa disebut knowledge.
            Dengan menggunakan penjelasan ini timbul komplikasi dalam menark garis demarkasi antara apa yang layak disebut pengetahuan dan apa yang bukan. Kalau penjelasan itu diterima, maka timbul pertanyaan : bagaimana kita menjustifikasikan kebenaran keyakinan kita? Haruskah setiap keyakinan dijustifikasikan dulu sebelum layak disebut pengetahua? Apakah pula filsafat yang mengandalkan hasil pemikiran rasional dan spekulatif dapat disebut pengetahuan? Dapatkah dibenarkan justifikasi yang semata-mata didasarkan atas hasil renungan-renungan filosofis tanpa dihadapkan pada fakta empirik?
            Penulis berpendirian bahwa apa yang disebut dengan ‘knowledge’ dalam versi ensiklopedia filsafat itu menunjuk pada pengertian ‘ilmu’ seperti dikemukakan pada paragraf keenam di atas, sejauh ‘justified true belief’ sudah memenuhi standar-standar ilmiah. Bagaimanapun ilmu dan pengetahuan didefinisikan, dalam konteks epistemologi, persoalan mendasar yang dihadapi adalah soal kebenaran (truth). Karena kebenaran itu menyangkut ilmu/pengetahuan, maka yang dipermasalahkan disini adalah kebenaran keilmuan/ilmiah (scientific truth) yang diketengahkan berikut ini.


Berbagai Pandangan tentang Kebenaran Ilmiah
            Kebenaran merupakan topik sentral dalam filsafat ilmu. Apakah kebenaran itu? Bagaimanakah kita bisa sampai pada kebenaran? Mengapa sesuatu dianggap benar dan yang lain tidak? Bagaimanakah kebenaran diuji validitasnya?
            “The concept of truth is an elusive one,” tulis Lincoln & Guba (1985:14). Mereka mengutip kajian Julienne Ford dalam Paradigms and Fairy Tales (1975) yang mengemukakan bahwa istilah ‘kebenaran’ bisa memliki empat arti yang berbeda yang ia simbolkan dengan T1, T2, T3, dan T4. Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik. Kebenaran ini tidak bisa diuji benar-tidaknya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma-norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang palng mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth), karena itu harus diterima apa adanya (taken for granted) sebagai given. Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama.
            Keenaran kedua (T2) adalah kebenaran etik yang menunjuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik (code of conduct). Seseorang dikatakan benar secara etik apabila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber T2 bisa dari T1 atau dari norma-norma sosial budaya suatu lingkup masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
            Kebenaran ketiga (T3) adalah kebenarn logik. Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar (dalam pengertian T3) atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik (T1). Aksioma matematik yang menyatakan bahwa sudut-sudut segitiga sama sisi masing-masing 60o , atau 1+1 = 2, adalah contoh kebenaran logik. Peranan rasio atau logika sangat dominan dalam T3. Meskipun demikian, seperti halnya pada bagian T2, kebenaran ini tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat didalamnya, bahkan 1+1 = 2 pun dasarnya adalah hasil konsensus. Mengapa tidak 1+1 = 3? (dalam sistem bilangan hexadesimal memang 1+1 # 2). Mengapa pula jumlah semua sudut segitiga harus 180o , tidak 300o ?
            Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empirik yan lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuatu (kepercayaan, asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) diangga benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, dan (meminjam istilah Popper) “tahan terhadap falsifikasi atau kritik”. Dalam hal ini, korespondensi antara teori dengan fakta, antara pengetahuan a priori dengan pengetahuan  a posteriori (demikian Immanuel Kant menyebutnya) menjadi persoalan utama.
            Diantara keempat jenis kebenaran menurut Ford di atas, risalah ini lebih memusatkan perhatian kepada kebenaran empirik (T4) yang disebut kebenaran Ilmiah – tentu saja tanpa mengesampingkan kaitan kebenaran ini dengan tiga kebenaran lainnya, khususnya dengan T2 dan T3. Dalam kajian selanjutnya, fokus perhatian diarahkan pada fakta tau realitas sosial-psikologis pendidikan sebagai suatu obyek penelitian ilmiah.
            Dalam konteks kebenaran ilmiah yang melibatkan subyek (manusia, knower, observer) dengan obyek (fakta, realitas, known), ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu teori-teori : (1) Korespondensi, (2) Koherensi, dan (3) pragmatisme.
            Pertama,  teori tentang korepondensi menyatakan bahwa kebenaran tersimpul dalam relasi interaksional antara “aku” (knower) dengan “engkau” (known), antara teori dengan fakta empirik. Motto teori ini adalah, “Truth is fidelity to obyektive rality” (kebenaran setia/tunduk paa realitas obyektif). Aliran-aliran filsafat realisme, empirisme, rasionalisme, dan idealisme berada dalam “kubu”  ini . implikasi dari teori ini ialah bahwa hakikat pencarian kebenaran ilmiah tidak lain dari serangkaian usaha untuk mencari realsi yang konsisten antara subyek (inter-subyektivitas), dan antara obyek dengan obyek berdasarkan perspektif subyek. Teori ini erat dengan kaitannya dengan kebenaran empirik (T4) menurut klasifikasi Ford.
            Kedua, teori koherensi menganggap bahwa sessuatu itu benar apabila ada koherensi atau konsistensi, dalam arti tidak kontradiktif pada saat bersamaan, antara dua atau lebih logika. Tidak ada salah dan benar yang terjadi sekaligus, melainkan keduanya bersifat mutually exclusive (yang satu menegasikan yang lain; atau adanya yang yang satu meniadakan yang lain) dalam logika. Sumber kebenaran menurut teori ini adalah logika (manusia) yang secara inheren memiliki koherensi. Kebenaran logis mendahului kebenaran empiris. Filsafat idealisme menjadi acuan teori ini. Dikaitkan dengan klasifikasi Ford, teori koherensi menunjuk pada kebenaran logis (T3).
            Ketiga, teori pragmatisme berpandangan bahwa kebenaran tersimpul pada sejauh manakah sesuatu itu fungsional bagi kehidupan manusia. Kebenaran yang sesungguhnya tidak akan pernah dapat dicapai manusia (skeptisisme), dan daripada susah mencari kebenaran hakiki, lebih baik dilihat gunanya (utilitarianisme) dalam kehidupan duniawi (materialisme, empirisme). Alur pemikiran pragmatisme tampak sejalan dengan pemikiran filsafat di atas (dalam kurung). Tetapi, dalam hal ketuhanan, pragmatisme cenderung skeptis dan bahkan agnostis (ragu-ragu). Penekanan pada nilai guna kehidupan duniawi, tanpa memandang nilai-nilai intrinsiknya, kerap kali menggiring penganut teori ini pada perilaku-perilaku yang menghalalkan segala cara (“the end justifies the means”), karena sesuatu kebenaran terlepas dari kaitan transendentalnya.
            Sekalipun berpegang secara konsisten pada relasi antara knower (subyek) denga known (obyek) dalam menghampiri kebenaran, rumusan memuaskan tetap saja sulit di capai. Namun demikian, disini penulis cenderung untuk berpegang pada pendirian teori korespondensi bahwa kebenaran tersimpul dalam relasi timbal balik antara knower dengan konwen, antara subyek dengan obyek, antar teori dengan pengamatan empiris. Artinya sesuatu layak disebut benar apabila pengetahuan kita tentang sesuatu sesuai dengan fakta atau realitas (“obyektif”) yang diselami melalui empiri atau pengalaman langsung.
            Dalam pandangan Phillifp Phenix (1964), kebenaran tersimpul pada kebermaknaan (meanningfulness) sesuatu, yang berbeda-beda menurut dunia atau bidangnya (realms). Ia mengurut enam jenis dunia makna (realm of meaning) yang masing-masing bersifat distingtif dibandingkan dengan yang lain, yaitu : (1) makna simbolik (bahasa keseharian, matematika, bentuk-bentuk simbolik); (2) makna empirik (ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu kehidupan, psikologi, ilmu-ilmu sosial); (3) makna estetik (musik, seni visual, seni gerak, seni sastra); (4) makna sinoetik (filsafat, psikologi, kesusasteraan, agama, dalam aspek-aspek eksistensialnya); (5) makna etik (hal-hal yang berkenaan dengan norma-norma moral); dan (6) makna sinoptik (sejarah, agama dan filsafat). Pada keenam makna tersebut, kebenaran ilmiah berkenaan dengan makna empirik yang bersinggungan pula dengan dunia makna yang lainnya.

Fakta dan Realitas dalam Studi Ilmiah

            Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah pengalaman atau empiri itu? Apa hubungan dengan fakta dan data? Istilah-istilah ini perlu diklarifikasikan, meskipun penjelasan ini tidak berpretensi sebagai mampu memberikan klarifikasi di tengah keragaman pemahaman.
            Pada intinya, pengalaman adalah keterlibatan subyek atas obyek; dalam arti knower tidak hanya berdiri diluar known, melainkan terjun kedalamnya. Keterlibatan bisa langsung (sebutlah mengumpulkan data lapangan) atau tidak langsung (melalui sumber-sumber data skunder). Fakta adalah segala sesuatu yang ada disekeliling kita yang dapat kita dengar, lihat, cium, dan rasakan keberadaannya (Goldstein & Goldstein, 1980 : 12). Data, di pihak lain, menunjuk pada fakta yang telah dikumpulkan (oleh peneliti atau siapa saja yang membutuhkannya), baik berupa informasi kualitatif (soft data) maupun kuantitatif (hard data). Data baru akan berarti apabila telah diorganisasikan dan ditafsirkan. Data tidak akan “berbicara” sendiri, tanpa ditafsirkan atau “dibunyikan” oleh subyek.
            Betapapun obyektinya cara yang digunakan untuk memahami dan mengumpulkan data, interpretasi subyeklah pada akhirnya yang menentukan. Tetapi bukan interpretasi yang serampangan, melainkan interpretasi yang didasari informasi yang sesuai dan kekayaan intelektual penafsir (well-informed interpretation).
            Interpretasi diwarnai oleh latar belakang pengalaman, sudut pandang, kepentingan pengamat; atau dengan kata lain paradigma yang digunakannya. Secara sederhana paradigma diartikan sebagai “Cara kita memandang dunia” (the way we look at the world). Jadi, bagi seseorang, dalam hal ini ilmuwan atau peneliti, paradigma ibarat warna lensa kacamata. Bila lensa yang digunakan berwarna bening, maka akan bening pula obyek kelihatannya; bila biru, biru pula, dan demikian seterusnya. Itulah sebabnya, paradigma mana yang dipakai dalam sebuah kajian akan mempengaruhi interpretasinya.
Sampai di sini dapatlah dikatakan bahwa apa yang disebut obyektivitas dalam dunia pengamatan empiris belum tentu sebenarnya “obyektif” selama subyek itulah yang menatapnya. Ada dua hal yang terkait di sini. Pertama, karena alasan itu, maka metode ilmiah menetapkan kriteria bahwa sesuatu disebut benar secara ilmiah apabila dapat diverifikasi atau di ulang (direplikasi) oleh yang lain dengan hasil yang (relatif) konsisten – yang menggunakan prinsip probabilitas statistik. kedua, pada akhirnya, obyektivitas itupun merupakan konsensus para ilmuwan, dan bahwa obyektivitas itu selalu kondisional dari segi sudut pandang epistemologi dan bahkan konteks lingkungan.
Sebagai contoh tentang data statistik. Douglas (Dove, 1982) mengemukakan bahwa statistik (angka-angka hasil pengukuran atau perhitungan) bukan sepenuhnya fakta, melainkan hasil interpretasi atas fakta. Statistik merupakan representasi dari fakta yang telah diklasifikasikan, direduksi, menjadi angka-angka dengan tujuan agar dapat lebih mudah dibaca, diberi arti, dan disajikan. Untuk sampai pada angka-angka itu, terjadi reduksi melalui proses perhitungan, sampling of behavior (bila psikometrika), dan pengambilan rata-rata.
Persoalan ini menjadi semakin menarik (juga pelik) bila dikaji dengan menggunakan konsep “realitas” (reality). Berger & Luckmann (1967 : 1) dalam karyanya ynag terkenal, the Social Construction of Reality, mengartikan realitas sebagai “a quality appertaining to phenomena that we recognize as having a being independent of our own volition ( we cannot “ wish them a way”). Rumusan ini menyebut independensi being, tetapi tidak berarti ia lepas sama sekali dari interpretasi kita. Bahkan keduanya menunjuk justru realitas subyektif itulah yang melingkupi dunia ini, dalam kehidupan sosial, seperti tercemin dalam judul bukunya.
Realitas tidak selalu mengimplikasikan bahwa apa yang kita ketahui itu adalah benar-benar nyata sesuai dengan wujudnya yang dapat diindera. Kontroversi tentang kebenaran ilmiah kembali muncul dari cara orang mendefinisikan realitas, mengingat realitas merupakan fenomena yang menjadi dasar dan data dalam studi-studi ilmiah.
Dalam  The Emergent Paradigms : Changing Pattern of Thought and Beliefs, Schwarz & Ogilvy (Lincoln & Guba, 1985) mengemukakan bahwa konsep relaitas berkaitan erat dengan perspektif. Proses mental, instrumen dan bahkan disiplin yang kita pegang tidaklah netral dalam upaya mengangkat realitas dunia. Oleh karena itu, keduanya memandang bahwa obyektivitas merupakan ilusi belaka. Akan tetapi, istilah subyektivitas dianggapnya kurang memadai untuk melukiskan cara kita memandang dunia secara tidak netral itu. Sebagai alternatif, keduanya menggunakan istilah perspektif.  Dikemukakan :
We suggest that perspective is amore useful concept. Pespective connotes a view ar a distance from a particular focus. Where we look from affects what we see. This means that any one focus of observation gives only a partial result; no single discipline ever gives us a complete picture. A whole picture is an image created morphogenetically from multiple perspectives (Lincoln & Guba, 1985 : 55).
Dengan menggunakan perspektif yang berbeda-beda, para ilmuwan sampai pada pemahaman yang berbeda-beda pula tentang realitas sejauh mereka tangkap. Karena itu, Schwarz & Ogilvy menawarkan konsep “perspektif ganda” (multiple perspectives) untuk melukiskan cara pandang yang beragam itu. Akibatnya, apa yang disebut dengan ultimate reality atau objective reality seperti diklaim oleh sebagian ilmuwan tidak akan pernah tercapai, meskipun mungkin hal itu ada.
Orang dengan latar belakang yang berbeda-beda akan memberikan makna dan tafsiran yang berbeda-beda terhadap suatu peristiwa, tergantung pada perspektif yang digunakannya yang diwarnai oleh sudut pandangnya, pengalamannya, dan kepentingannya. Manakah yang benar? Pertanyan ini sulit dijawab tanpa menimbulkan pertanyaan lanjutan: apa yang dimaksud dengan benar? Manakah pula yang paling obyektif? Inipun susah dijawab, apabila obyektivitas didefinisikan secara konvensional seperti di atas. Dalam takaran perspektif masing-masing pengamat, yang obyektif adalah apa yang mereka pandang, amati, simpulkan dan beri makna. Dengan kata lain,  realitas dikonstruksikan secara subyektif oleh subyek. Intersubyektivitas menunjuk pada adanya titik pertemuan antara realitas yang ditangkap oleh kelompok individu.
Berkaitan dengan rumusan di atas, Lincoln & Guba (1985) mengajukan empat pandangan filsafat tentang hakikat realitas.
Pertama, realitas obyektif (obyektif reality) yang mewakili pandangan realisme naif. Menurut pandangan ini, apa yang disebut dengan realitas nyata itu benar-benar ada, dan pengalaman langsung dapat menjangkau realitas obyektif tersebut, baik realitas fisik, sosial maupun ruang.
Kedua, realitas yang dipersepsi (percieved reality). Dikemukakan bahwa realitas yang sesungguhnya itu ada, tetapi seseorang tidak akan mampu mengetahuinya secara penuh. Realitas hanyalah bisa ditangkap dan diapresiasi berdasarkan sudut pandang tertentu yang disebut persepsi. Seperti dalam cerita orang-orang buta dan gajah, persepsi bersifat parsial dan tak lengkap; setiap orang memiliki persepsi masing-masing yang berbeda-beda.
Ketiga, realitas yang dikonstruksikan (constructed reality). Pandangan ini berpendirian bahwa tidak jelas apakah realitas ada tau tidak. Kalaupun ada, kita tidak akan pernah mengatakannya. Yang dapat diketahui dan dijangkau oleh manusia adalah kontruksi pikiran dan perasaan yang jumlahnya tidak terhingga yang disebut “realitas ganda”, sesuatu berbeda bagi individu yang berlainan, meskipun dalam sejumlah hal mereka memiliki persamaan. Konsep demikian dipergunakan oleh Berger & Luckmann (1967), Lincoln & Guba (1985), Max Weber, serta para penganut aliran penelitian kualitatif, naturalistik, etnografis, fenomeologis, verstehen, dan sejenisnya.
Keempat, realitas yang dibuat atau yang diciptakan (created reality). Pandangan ini berpendirian bahwa sama sekali tidak ada yang disebut realitas hakiki. Realitas yang ada hanyalah yang diciptakan oleh manusia, dan itu disebut realitas karena manusia menyebutnya demikian.
Keempat pandangan tentang realitas di atas kembali menunjukkan bahwa upaya mencari dan merumuskan kebenaran ilmiah tidaklah sederhana. Tidak ada orang atau pihak yang dapat mengaku yang paling benar dalam mencari kebenaran ilmiah tanpa harus berhadapan dengan pengecualian-pengecualian dan keberatan dari pihak lain. Hal ini akan berimplikasi pada cara atau metode yang kita gunakan untuk sampai pada kebenaran ilmiah. Implikasi lain yang tidak kurangpentingnya menyangkut cara kita bersikap ilmiah- selalu mencari kebenaran dengan rasa ingin tahu (curiousity) namun tetap menghargai orang atau pandangan lain (tidak arogan), komunalisme, dan universalisme (Joesoef, 1987).
Metode Ilmiah (Scientific Method)
            Dalam bagian terdahulu telah dikemukakan mengenai betapa beragamnya rumusan perihal kebenaran ilmiah. Sekalipun tidak mudah mencapai rumusan yang memuaskan tentang kebenaran ilmiah (apalagi yang disepakati bersama yang memang tidak mungkin), ikhtiar-ikhtiar ilmiah seharusnya tetap memiliki komitmen kuat pada usaha mencari kebenaran tersebut.
Triggs (1985 : 1009) mengemukakan bahwa nilai utama ilmu justru berakar pada usahanya yang terus menerus untuk mencari kebenaran. Segenap usaha keilmuan haruslah diusahakan ke sana. Ilmu yang tidak demikian berarti mengingkari statusnya sebagai ilmu, dan orang yang terlibat didalamya telah mengingkari komitmen ilmiahnya, sehingga tidak (lagi) layak disebut ilmuwan. Disinilah uniknya pergulatan ilmu dari para ilmuwan. Sementara kontroversi tentang kebenaran berlanjut tanpa ujung, bahkan sejak lahirnya tradisi keilmuan ribuan tahun lampau, ilmu harus tetap mencarinya. Sebab hanya dengan kebenaran itu ilmu tetap berstatus ilmu. Melepas komitmen pada kebenaran berarti melepas “kartu terakhir” yang dimiliki ilmu.
Usaha mencari kebenaran ilmiah menyangkut persoalan metodologis; dalam arti metode-metode yang dipergunakan untuk mencari kebenaran itu. Masalahnya apakah uyang disebut “ilmiah” atau “keilmuan” (scientific) itu? Bagamanakah orang bisa sampai pada kebenaran ilmiah? Langkah-langkah metodologis apakah yang harus ditempuh? Atau, adakah sesuatu rumusan definitif yang harus diikuti oleh para ilmuwan untuk dapat menemukan atau sampai pada kebenaran ilmiah? Bagaimanakah halnya dengan arti “metode ilmiah” seperti secara luas dikenal? Tanpa mengikuti urutan pertanyaan yang memang berkaitan satu sama lain diatas, bagian berikut ini mengulas isu pokok tentang metode ilmiah, dengan terlebih dahulu menelusuri pengertian istilah-istilah dasarnya.



Pengertian Ilmu dan Implikasinya

            Lepaskan dulu perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan seperti diuraikan terdahulu. Masalah yang dipersoalkan disini adalah : apakah ilmu itu? Pengertian ini sangat diperlukan karena berkaitan langsung dengan arti istilah “ilmiah” atau “keilmuan” yang merupakan kata sifat dari “ilmu: (science).
Ada berbagai pengertian tentang ilmu sebagaimana dikemukakan oleh para epistemolog.
Pertama, ada yang mengartikan ilmu secara sempit, hanya menunjuk pada ilmu-ilmu eksakta (exact science) seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, geologi dan matematika sebagai alatnya (atau organom, kata Aristoteles). Ilmu-ilmu ini ditandai dengan generalitas yang ketat dalam lingkupnya yang luas. Dari hukum-hukum itu, peramalan-peramalan yang tepat (precise) dalam bentuk angka-angka dapat dibuat. Definisi ilmu ini mewakili kelompok ilmuwan yang berpandangan bahwa kriteria utama ilmu adalah daya ramalnya (predictive power) yang akurat dan dibuat atas dasar data-data kuantitatif.
Konsekuensi dari definisi ini adalah bahwa ilmu-ilmu non-eksakta baru boleh disebut ilmu (tanpa tanda petik) apabila mampu mengajukan hukum-hukum dengan tingkat generalitas atau lingkup yang luas, sehingga mampu mngemukakan prediksi-prediksi dengan validitas yang tinggi. Tentu saja ilmu-ilmu sosial dan keperilakuan tidak selalu bisa demikian, mengingat fenomena atau Real Life System (Sanusi, 1998a) yang dihadapinya tidak sekonsisten ilmu-ilmu kealaman. Bila kriteria “Laws of great generality” dan “accurate predictive power” dijadikan dasar pendefinisian ilmu, maka tidak ada ilmu-ilmu sosial dan keperilakuan yang sepenuhnya mampu memenuhi kriteria itu, yang implikasinya adalah ilmu-ilmu itu tidak layak di sebut ilmu. Hukum-hukum dalam psikologi dan sosiologi, misalnya memiliki lingkup yan terbatas dan kurang pasti daya ramalnya dibandingkan dengan pada fisika, kimia, atau biologi.
Kedua, istilah ilmu mengimplikasikan kemampuan untuk melakukan eksperimen terkendali (controlled experiment) dalam rangka menguji teori-teori atau hipotesis-hipotesis. Eksperimen terkendali selalu mengandalkan pada situasi yang yang dapat dikendalikan dan variabel-variabel yang dapat dimanipulasikan menurut keinginan peneliti dengan dasar analisis berupa angka-angka. Definisi inipun mengandung cacat, bukan hanya bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga bagi ilmu-ilmu kealaman.
Bagi ilmu-ilmu sosial, keberatan terhadap definisi kedua tersebut adalah bahwa eksperimen dalam ilmu-ilmu sosial kebanyakan tidak dapat dikontrol dalam arti ayng sesungguhnya. Manipulasi variabel dalam ilmu-ilmu ini hanya bisa dilakukan dalam analisis (statistik), misalnya dengan analisis varians atau korelasi parsial (dengan menganggap variabel tertentu konstan). Eksperimen dalam ilmu sosial juga kebanyakan dilakukan secara kuasi (quasi experiment) dengan membiarkan sejumlah variael mempengaruhi kelompok eksperimen (yang diberi perlakuan), karena memang variabel-variabel itu tidak mungkin dikontrol. Akibatnya, presisi dan tingkat generalitas ilmu-ilmu sosial tidak setinggi dalam  ilmu-ilmu kealaman. Ancaman terhadap validitas internal dan validitas eksternal (Tuckman, 1982) tidak bisa dihindarkan. Karena alasan ini pula para ilmuwan sosial cenderung memperkecil toleransi kekeliruannya dengan mempertinggi tingkat kepercayaan atau memperkecil probabilitas kekeliruan dalam uji signifikansi statistik, misalnya menggunakan p < .05 dan p <.01.
Kelemahan lain pada definisi kedua diatas menyangkut ilmu-ilmu kealaman. Goldstein-Goldstein (1980:5) menulis, “But accepting this definition of science would exclude from science many of what we are used to thinking of as the greatest scientific achievements”. Sejarah penemuan besar dalam bidang ilmu memang membuktikan besarnya peranan unsur coba-coba (trial and error), imajinasi, instuisi, dan bakan faktor-faktor kebetulan, sekalipun dari sudut proses kreatif hal tersebut dipandang sebagai hasil dari kerja keras sebelumnya (Ghiselin, 1983).
Yang menarik ialah bahwa dalam kenyataannya, pada ilmu-ilmu kealaman sekalipun, tidak selamanya “controlled experiments to test theorities” tersebut dapat dilakukan atau semuanya dilakukan secara murni. Misalnya dalam astronomi – ilmu yang dianggap paling eksak diantara ilmu-ilmu eksakta – para ilmuwan tidak bisa mengontrol setiap kuantitas dan kegiatannya, misalnya tidak bisa menggerakkan bumi agar lebih dekat dengan matahari atau mempercepat putaran bumi untuk menguji kebenaran lamanya tahun masehi; atau menguji kebenaran jarak antar-bintang dalam hitungan sekian ribu atau juta tahun cahaya secara persis dan dapat dikontrol. Dalam geologi, para ilmuwan tidak bisa merekonstruksikan secara murni keadaan zaman es jutaan tahun lampau untuk mengetahui bagaimana benua-benua ini terbentuk melalui proses evolusi. Yang dapat mereka analisis (berdasarkan perhitungan-perhitungan dan teori-teori(hanyalah sisa-sisa berupa lapisan bumi , karekteristk bebatuan dan fosil-fosil.
Ketiga, ilmu dipahami berdasarkan dimensi pasifnya, menunjuk pada akumulasi pakta atau informasi sehingga membentuk suatu sistematika. Dalam pengertian ini, ilmu lebih dipandang dari segi conten dan struktur-nya yang bertambah terus menerus dan semakin kaya, tanpa menarik garis beda antara ilmu-ilmu kealaman dengan ilmu-ilmu sosial dan keperilakuan. Dalam suatu dilmu ada dalil-dalil, hukum-hukum, teori-teori, paradigma-paradigma, hipotesis-hipotesis, dan proposisi-proposisi yang menjadi pegangan para ilmuwan dalam melakukan studi-studi ilmiah.
Keempat, ilmu dipandang lebih sekedar akumulasi informasi, fakta, teori, atau paradigma, melainkan merupakan sistem berpikir (Wilardjo, 1987;Pranarka, 1987). Dilihat dari dimensi aktifnya, ilmu adalah “cara (kita) memandang dunia, memahami dan mengubahnya” (Goldstein & Goldstein, 1980:3). Cara pandang terhadap dunia mengimplikasikan bahwa ilmu merupakan aktivitas kreatif dan imajinatif manusia (ilmuwan) dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran dialam ini. Pada gilirannya, hasil aktivitas kreatif dan imajinatif itu dibadkan bagi kepentingan dan kejahteraan umat manusia melalui upaya memajukan kebudayaan dan peradaban (Pranarka, 1987).
Dalam hal ini penulis setuju dengan pernyataan kedua Goldstein (1980 : 4) berikut ini :
“… scientifik is not dria orderly compilation  of useful facts, althoug some of thoose who hold the negative view of science is an activity of creative and imaginative human beings, not computers and other machines. The creativity and imaginations must be controlled by discipline and self criticism.”
Namun penulis kurang sepakat apabila tiga sifat ilmu berikut ini diberlakuakan secara umum untuk semua ilmu. Mengutip pandangan para ilmuwan kealaman, aktivitas keilmuan menurut kedua penulis tersebut ditandai oleh tiga hal : (1) mencari pengertian tentang realitas dengan penjelasan yang memuaskan; (2) pengertian diarahkan pada usaha menemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip generalitas untuk lingkup yang seluas-luasnya; (3) hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang dapat dites secara eksperimental.
Pandangan di atas nampaknya belum lepas dari komplikasi yang dikemukakan terdahulu, disamping masih diwarnai oleh jalan pikiran para ilmuwan kealaman yang menganut paradigma positivistik. Para ilmuwan sosial, terutama menganut paradigma naturalistik-kualitatif (Lincoln & Guba, 1985; Guba & Lincoln, 1981; Bogdan & Biklen, 1982; Goetz & Lecompte, 1984) akan mempertanyakan, apalah suatu pengertian (understanding) harus mengimplikasikan “general laws and principlesí”  dan “can be tested experimentally”? apa yang dimaksud dengan  generalitas dan genralisasi? Pertanyaan ini timbul sehubungan dengan beragamnya realitas (multiple realities) yang menuntut perspektif ganda (mulitiple perspectives) menurut rumusan Schwarz & Ogilvy (1975). Bagi para iilmuwan kealaman, definisi ilmu dari Goldstein diatas tidak menjadi soal, tapi bagi sebagian ilmuwan sosial, definisi itu masih perlu dipertanyakan.
Dengan memadukan pengertuan di atas, penulis berpendirian bahwa ilmu merupakan sistem berpikir yang menunjukkan pada serangkaian aktivitas kreatif dan imajinatif manusia dalam upaya mencari kebenaran, dengan berpegang pada standar-standar pencarian yang berdisiplin (disciplined inquiry) yaitu ketat (rigorous) dan memperkecil kekeliruan (concern for error)
Definisi ini tidak (selalu) mengimplikasikan perlunya di antara tiga ciri yang dikemukakan Goldstein, yaitu generalitas hukum-hukum atau prinsip-prinsip dan pengujian eksperimental. Juga, kebenaran ilmu tersimpul dalam relasi interaksiona antara subyek dan obyek.


           




DAFTAR BACAAN

Babie, E.R.. Survey Research Methods. Belmont, Calif: Wadsworth Publishing Co. 1973
Braithwaite, R. 1955. Scientific Explanation. Cambridge: Univ. Press
Barry Barnes,  T.S.  Khun and Social Science, The MacMillan Press Ltd, London, 1982.
Jalaluddin Rakhmat. Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 1990).
Langeveld, M.J.. Menuju ke Pemikiran Filsafat, Pustaka Sarjana, Jakarta,
Jostien Gaarder,  Sophies WorldPhoenix House,1995.
Jujun, S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi,. Metode Penelitian Survei, (Jakarta:LP3ES, 1990).
Popper, K, Normal Science and Its Dangers, in Criticism and the Growth of Knowledge, Ed Lakatos and Musgrave, 1970
Poedjawijatna, I.R. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Pustaka Sarjana, Jakarta, 1980.
Karl Britton, Philosophy and the Meaning of  Life, Prisma Sophie, Jogyakarta, 2003.
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan karangan tentang : Agama, Kebudayaan, Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, LP3S, 1984
Surakhmad, W. Dasar-Dasar Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978).
Suyatna Basar Atmaja, Pengantar Metoda Penelitian,  FIP IKIP Bandung, 1978.
Thomas S. Khun, The Structure of Scientific Revoluation,The Univercity of Chicago Press, Chicago, 1962.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar